MWC NU WIDASARI

Perjuangan Nahdlatul Ulama dari masa ke masa



A. NU DI MASA KELAHIRAN DAN MASA PENJAJAHAN

Nahdlatul Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M di Surabaya. Akan tetapi baru memperoleh ketetapan sebagai organisasi yang resmi dan berbadan hukum dari Gubernur Jendral Hindia Belanda bernomor IX/1930. Sejak itu pengurus besar Nahdlatul Ulama berusaha dengan sungguh-sungguh memasyarakatkan dan menyebarluaskan keberadaan Nahdlatul Ulama. Untuk keperluan tersebut dibentuk Lajnah Nashihin sebuah komisi yang bertugas mensosialisasikan dan membentuk cabang-cabang Nahdlatul Ulama.

Dengan kerja keras, dalam waktu yang tidak begitu lama hampir di seluruh Pulau Jawa sudah terbentuk cabang NU. Bahkan ketika Belanda menyerah kalah kepada Jepang NU sudah memiliki cabang 120 di Jawa dan Kalimantan. Pada tahun 1935 sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah NU membuat kegiatan ekonomi Mabadi Khairu Ummah.

Gerakan ini diarahkan pada semangat tolong menolong dalam bidang ekonomi dan meningkatkan pendidikan moral yang bertumpu pada tiga prinsip, ash-shidqu (kejujuran), al-amanah (dapat dipercaya), dan at-ta’awun (tolong menolong).

Dalam Anggaran Dasarnya, NU sebagai organisasi tidak menyebutkan kemerdekaan sebagai salah satu tujuannya, sama seperti misalnya Sarekat Islam yang berdiri pada tahun 1912. Baru dikemudian hari, anti kolonialisme disebut di dalam buku-buku pegangan sekolah kaum tradisional dan dalam historiografi NU.

Sebagai organisasi, NU mengambil sikap tegas terhadap kolonial, NU juga menolak mentah-mentah campur tangan kolonial Belanda dalam hal agama. NU menolak ketika pemerintah mengembalikan hukum warisan dari wewenang Pengadilan Agama dan mengembalikan kepada hukum adat. NU juga tidak setuju dengan rencana undangundang perkawinan yang dibuat oleh pemerintah.

Ketidak puasan NU kepada kolonial menyebabkan NU mendekat kepada pembaharu. Pada tahun 1935 KH Hasyim Asy’ari mengajak seluruh umat untuk bersatu dan menganjurkan perilaku moderat.

Beliau menganjurkan agar ada toleransi antara kaum pembaharu dan kaum tradisionalis. Kaum pembaharupun tampaknya ingin berbaikan juga. Pada tahun 1937 organisasi Islam brsatu di bawah konfederasi MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia). NU baru bergabung setelah merasa yakin bahwa kalangan pembaharu tidak mendominasi dalam penggabungan ini.

Pada tahun 1938 NU menerima Hindia Belanda sebagai Darul Islam, artinya negeri yang dapat diterima oleh umat Islam. Alasannya penduduk Indonesia bisa menjalankan syari’at Islam. Selain itu dahulu raja-rajanya juga beragama Islam. Namun, dalam muktamar yang sama usulan beberapa aktifis untuk masuk Volksard ditolak. NU memutuskan untuk tetap berada di luar bidang politik.

Pada tahun 1935 KH Hasyim Asy’ari mengajak seluruh umat untuk bersatu dan menganjurkan perilaku moderat.

Pada tahun 1939 parta-partai politik membentuk federasi yang diberi nama GAPI (Gabungan Politik Indonesia). Para aktifis muda seperti Mahfuzh Shidiq dan Wahid Hasyim terbawa juga ke panggung politik sebagai wakil NU di MIAI yang mendukung seruan GAPI agar “Indoensia berparlemen”. Selain itu, MIAI melarang pemuda Indonesia ikut serta dalam pertahanan rakyat yang diorganisir Belanda atau mendonorkan darahnya bagi tentara kolonial.

B. NU PADA MASA JEPANG

Jepang menancapkan tonggak-tonggak penjajahannya di Indonesia setelah berhasil mengalahkan Belanda. Pada awalnya mereka menyebarkan jani-janji palsu. Diantara janji-janjinya adalah “Nipon cahaya Asia, Nipon pelindung Asia, Nipon cahaya Asia”.

Dengan janji-janjinya tersebut bangsa rakyat Indonesia berharap bahwa Jepang akan menjadi sang penyelamat bagi negeri ini. Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Penjajahan Jepang membuat rakyat Indonesia semakin tersiksa.

Pada tahun 1943 dengan Undang-undang No. 3/1943 tentang pemberlakukan keadaan perang di seluruh wilayah Indonesia Jepang membubarkan semua organisasi Pergerakan Nasional dan melarang seluruh aktifitasnya. Meskipun secara formal jaringan keorganisasian dibekukan namun hubungan silaturrahmi antara ulama tetap bisa dilakukan melalui berbagai pranata dan institusi sosial seperti pondok pesantren.

Katika Jepang mewajibkan bangsa Indonesia menghormati kaisar Jepang dengan membungkukkan badan ke arah timur dalam waktuwaktu tertentu, NU dengan tegas menolak karena hal itu merupakan perbuatan syirik. Hal itu menyebabkan KH Hasyim Asy’ari dan KH. Mahfuzh Shidiq dijebloskan ke dalam penjara.

Untuk mengantisipasi kesewenang-wenangan Jepang ini, NU melakukan pembenahan. Urusan NU internal diserahkan kepada KH. Nahrawi Thahir sedangkan urusan eksternalnya diserahkan kepada KH. Abdul Wahid Hasyim, dan KH Abdul Wahab Hasbullah diserahi jabatan Ketua Besar.

Disamping itu, disepakati beberapa program untuk memenuhi tiga sasaran utama, yaitu:

  1. Menyelamatakan akidah Islam dari Sintoisme, terutama ajaran Shikerei yang dipaksakan oleh Jepang.
  2. Menanggulangi krisis ekonomi sebagai akibat Perang Asia Timur Raya
  3. Bekerja sama dengan seluruh komponen Pergerakan Nasional untuk melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan.

Jepang pun akhirnya menyadari kesalahannya. Ia berbelolok haluan. Jepang lebih condong untuk bekerja sama dengan para pemimpin Islam Baik para pemimpin tradisionalis ataupun pemimpin nasionalis. Sebab Jepang menganggap bahwa para kiai yang memimpin pondok pesantren yang merupakan pendidikan masyarakat pedesaaan sehingga dapat dijadikan alat propaganda yang efektif. Sebagai imabalannya, pemimpin-pemimpin Islam diberi kemudahan dalam urusan keagamaan. Kecondongan Jepang ini dimanfaatkan oleh para kiai NU, bukan untuk mengambil keuntungan dari Jepang, namun bertujuan untuk memasyarakatkan tujuan bangsa untuk meraih kemerdekaan.

Pada bulan Oktober dibentuklah federasi umat Islam yang diberi nama Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan jabatan ketua diserahkan kepada KH Hasyim Asy’ari namun karena kesibukan beliau, tugas itu diserahkan kepada KH Wahid Hasyim.

Pada tahun 1944 dibentuk Shumbu Kantor Urusan Agama untuk tingkat pusat dan Shumuka untuk tingkat daerah. Shumbu dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari yang pelaksanaannya diserahkan kepada KH. Wahid Hasyim dan Kahar Muzakir. Jepang memberi pelatihan kepada para kiai dengan mengajarkan sejarah, kewarganegaraan, olahraga, senam, dan bahasa Jepang. Pada tahun yang sama KH Abdul Wahid Hasyim diijinkan membuat laskar Hizbullah dan Sabilillah.

Untuk memperkuat kekuatan militernya Jepang juga membentuk kekuatan sukarela yakni PETA. PETA diikuti oleh berbagai kalangan, termasuk di dalamnya para kiai. Tujuan bangsa Indonesia masuk PETA bukan untuk membantu Jepang dalam perang namun untuk belajar militer guna dan mengangankan mendapat politik yang lebih besar.

Baik PETA, Hizbullah, maupun Sabilillah yang diharapkan dapat membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya ternyata malah berbuat sebaliknya. Latihan perang yang mereka terima dari Jepang mereka gunakan untuk melawan Jepang.

Di era penjajahan jepang, jepang lebih condong bekerja sama dengan umat islam dengan membentuk shubumu (kantor urusan agama) yang dipimpin oleh KH hasyim asy’ari.

Pada tanggal 7 September 1944 Perdana Menteri Jepang Kuaki Kasio menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesa. Janji itu diberikan karena di beberapa peperangan Jepang kalah melawan sekutu. Janji itu direspon positif oleh Pimpinan Konggres Umat Islam sedunia, Syekh Muhammad Al-Husaini dari Palestina.dengan mengirimkan surat kepada pemerintah Jepang melalui Duta Besar. Surat itu juga ditembuskan kepada KH Hasyim Asy’ari (Raisy Am Masyumi). Dengan cepat KH Hasyim Asy’ari menyelenggarakan rapat khusus pada tanggal 12 Oktober 1944 yang menghasilkan resolusi ditujukan kepada pemerintah Jepang. Resolusi tersebut berisi:

  1. Mempersiapkan rakyat Indonesia agar mampu dan siap menerima kemerdekaan Indonesia dan agama Islam.
  2. Mengaktifkan kekuatan umat Isalm Indonesia untuk memastikan terlaksananya kemenangan finial dan mengatasi setiap rintangan dan serangan musuh yang mungkin berusaha menghalangi kemajuan kemerdekaan Indonesia dan agama Islam.
  3. Bertempur dengan sekuat tenaga bersama Jepang raya di jalan Allah untuk mengalahkan musuh, menyebarkan seluruh resolusi ini kepada seluruh tentara Jepang dan segenap bangsa Indonesia.

Meskipun pada zaman Jepang NU mendapatkan posisi strategis, namun tetap tidak mengubah sikap kritisnya terhadap pemerintah. NU tetap berjuang demi mencapai izzul Islam wal Muslimin. Dan Izzul Islam wal Muslimin itu tidak dapat tercapai kecuali dengan kemerdekaan. Sebelum meraih kemerdekaan umat Islam tidak akan merasa bebas dan leluasa untuk melaksanakan ajaran agama. Berbagai fasilitas dan kemudahan yang diberikan oleh Jepang digunakan untuk menanamkan kesadaran berpolitik kepada rakyat.

C. NU PADA MASA PERSIAPAN MENUJU KEMERDEKAAN

Jauh sebelum persiapan kemerdekaan dilakukan, NU pada Muktamarnya yang kelimabelas diadakan rapat tertutup yang dihadiri sebelas orang ulama yang dipimpin oleh KH Mahfuzh Shidik, untuk membicarakan calon yang paling pantas untuk menjadi presiden pertama RI. Kesebelas tokoh tersebut menentukan dua nama, yaitu Sukarno dan Hata. Ternyata Sukarno menang atas Hatta dengan perbandingan 10:1.

Pada tanggal 19 April 1945 dibentuklah Badap Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 62 orang yang diketuai oleh Sukarno dan Hatta sebagai wakilnya KH. Wahid Hasyim juga menjadi anggota BPUPKI saat itu. Selain menyusun UUD bakal Republik, BPUPKI juga membiacarakan tentang bentuk Negara. Apakah Indonesia akan berbentuk Kesatuan yang memisahkan antara state (Negara) dan agama ataukah akan menjadi Negara Islam.

Di BPUPKI inilah Sukarno meletakkan dasar-dasar Pancasila. Sebagian pihak ada yang bersikukuh agar Indonesia menjadi Negara Islam. Dengan demikian syari’at Islam bisa dilaksanakan di sini. Tetapi sebagian yang lain tidak setuju karena di Indonesia ini ada bermacam-macam agama. Sukarno lebih condong kepada opsi bahwa Indonesia menjadi Negara Kesatuan yang memisahkan antara agama dan Negara. Jika umat Islam menginginkan agar hukum Islam masuk ke dalam hukum Negara boleh saja asalkan melalui prosedur yang tepat. Jadi pemikiran Sukarno lebih bersifat substansialistik, artinya substansinyalah yang dikedepankan bukan sekedar namanya. Sukarno setuju dilaksanakannya agama Islam tetapi tidak setuju dengan diformalkannya ajaran agama Islam.

Pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan agar Negara Indonesia didasarkan pada Pancasila atau lima dasar, yakni; 1) Kebangsaan, 2) Internasionalisme, 3) Perusyawaratan, 4) Kesejahteraan, 5) Ketuhanan.

Perdebatan muncul kembali ketika golongan nasionalis-sekulerkristen menolak tujuh kalimat dalam Piagam Jakarta ‘dengan kewajiban melaksanakan syari’at agama Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.

Perdebatan itu menurun setelah tokoh nasionalis-muslim, di antaranya KH Abul Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, dan Bagus Hadikusumo melakukan pertemuan dengan Hatta menjelang sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) untuk sepakat mencabut ketujuh kata tersebut dari Piagam Jakarta. Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Pembukaan Undang-undang Dasar 45 adalah hasil rumusan dari team IX, di antaranya adalah KH Abdul Wahid Hasyim, putra dari KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Sikap ketiga pemimpin nasionalismuslim tersebut merupakan kelanjutan dari diskusi antara KH. Wahid Hasyim, KH Masykur (NU), dan Kahar Muzakir (PII) dengan Sukarno pada akhir Mei 1945.

D. PERANAN NU PASCA KEMERDEKAAN INDONESIA

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Sukarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Meskipun demikian, bukan berarti Indonesia sudah aman dari ancaman penjajahan. Sebab, setelah Jepang menyerah kalah kepada Sekutu, Sekutu datang ke Indonesia untuk melucuti senjata Jepang. Kedatangan Sekutu tersebut diboncengi oleh tentara Belanda (NICA). NICA adalah kependekan dari Netherlands Indies Civil Administration. Kedatangan Belanda tersebut bisa diindikasikan bahwa Belanda ingin kembali menjajah Indonesia.

Para Kiai dan para pengikutnya yang sangat besar aktif dalam peperangan mempertahankan kemerdekaan. Mereka berada dalam barisan Hisbullah dan Sabilillah. Komandan Hisbullah adalah Zainul Arifin, tokoh NU dari Sumatera sedangkan komandan Sabilillah adalah KH Masykur, tokoh NU yang kelak akan menjadi Menteri Agama.

Karena pemerintah telihat menahan diri ketika bendera Belanda dikibarkan di Indonesia, maka kondisi ini membakar api kemarahan para pemimpin Indonesia, tidak terkecuali dari NU. Oleh karena itu, NU mengeluarkan resolusi Jihad. Resolusi Jihad ini meminta pemerintah untuk mendeklarasikan perang suci. Isi resolusi itu adalah memutuskan:

  1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan satu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang membahayakan Kemerdekaan, dan Agama, dan Negara Indonesia terutama terhadap Belanda dan kaki tangannya.
  2. Supaya memerintahkan melanutkan perjuangan bersifat sabilillah untuk tegaknya Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

Resolusi ini berdampak besar bagi umat Islam, khususnya santri NU. Pada tanggal 10 November banyak santri NU yang terlibat dalam perang tersebut. Bung Tomo yang menggerakkan masa melalui pidato radio, mungkin tidak pernah menjadi santri, tetapi diketahui meminta nasehat kepada KH Hasyim Asy’ari. Tanggal 10 November pun akhirnya menjadi Hari Pahlawan yang masih diperingati sampai sekarang.

Dengan resolusi Jihad ini NU membuktikan jati dirinya yang cinta tanah air. NU terus mengkritik pemerintah yang bersedia menandatangani “Perjanian Linggarjati” dan “Renville”. Perubahan sikap yang kadang moderat dan kadang radikal ini dipicu oleh kaidah fikih yang menjadi dasar berfikir. Jadi meskipun pada masa Belanda dan asa Jepang NU taat kepada pemerintah, maksudnya pemerintah Belanda dan Jepang pada masa itu, namun setelah proklamasi kemerdekaan NU sudah menganggap Belanda sebagai kafir yang harus diusir.

Resolusi jihad NU dikeluarkan pada tanggal 22 oktober 1945, pada tanggal tersebut diperingati sebagai hari santri nasional.

Pada bulan Maret 1946 NU juga mengeluarkan resolusi yang memutuskan:

  1. Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardhu ‘ain (yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, yang brsenjata dan tidak) bagi yang berada dalam jarak 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh.
  2. Bagi orang yang berada di luar jarak lingkaran tadi kewajiban itu menjadi fardhu kifayah (yang cukup kalau dikerjakan sebagian saja).
  3. Apabila kekuatan dalam no 1 belum dapat mengalahkan musuh, maka orang-orang yang berada di luar jarak lingkaran 94 km wajib juga membantu No 1 sehingga musuh kalah.
  4. Kaki tangan musuh adalah pemecah yang harus dibinasakan menurut hukum Islam.

Dari sinilah kita bisa menyimpulkan bahwa Nahdlatul Ulama sangatlah berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan Repulik Indonesia, dan sudah sewajarnya jika NU selalu menggaungkan "NKRI Harga Mati"!! Wallahu A’lam (MWC NU Widasari)

Posting Komentar

0 Komentar