Pada zaman Rasulullah SAW masih
ada, perbedaan pendapat di antara
kaum Muslimin (sahabat) langsung dapat diselesaikan Kanjeng Nabi Muhammad SAW.. Tapi sesuadah
beliau wafat, penyelesaian semacam
itu tidak ditemukan. Perbedaan sering muncul lagi sebagai pertentangan dan permusuhan di antara
mereka. Kemudian masuk ke dalam
wilayah agama, terutama seputar hukum seorang Muslim yang berbuat dosa besar.Mereka berselisih
paham tentang status hukum orang berbuat dosa
besar ketika dia meninggal, apakah dia tetap Mukmin atau sudah kafir? Persoalan aqidah ini meluas ke
persoalan-persoalan Tuhan dan manusia,
terutama terkait perbuatan manusia dan kekuasaan Tuhan. Mereka juga berselisih paham tentang sifat Tuhan, keadilan
Tuhan, melihat Tuhan, ke-huduts-an
dan ke-qadim-an sifat-sifat Tuhan dan kemakhlukan al-Qur’an.
Ditengah perselisihan itu
lahirlah dua kelompok moderat yang berusaha
mengkompromikan keduanya. Kelompok ini kemudian dinamakan Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja). Dua kelompok tersebut
adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Asy’ariyah didirikan oleh Imam Abul Hasan
al-Asy’ari (lahir di Basrah 260 H/873 M dan wafat di Bagdad 324 H/935 M).
Maturidiyah didirikan oleh Imam Abu
Manshur al-Maturidi yang lahir di Maturid, Samarkand dan wafat 333 H.
A. KONSEP AQIDAH ASY’ARIYAH
Aqidah Asy’ariyah merupakan jalan
tengah (tawasuth) di antara kelompok
keagamaan yang berkembang pada saat itu, yaitu kelompok Jabariyah dan kelompok Qadariyah.
1.
Kelompok Jabariyah -
Kelompok Jabariyah berpendapat bahwa seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh Allah dan manusia tidak punya peranan apa pun.-
Kekuasaan Allah adalah mutlak
2.
Qadariyah - Kelompok
Qadariyah berkeyakinan bahwa perbuatan manusia
diciptakan oleh manusia itu sendiri terlepas
dari Allah.- Kekuasaan Allah terbatas.
Sikap tawasuth ditunjukkan
oleh Asy’ariyah dengan konsep al-kasb (upaya). Menurut Asy’ari, perbuatan manusia diciptakan oleh
Allah, namun manusia memiliki
peranan dalam perbuatannya.
Kasb memiliki makna
kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan
Tuhan. Kasb juga memiliki makna keaktifan manusia dan manusia bertanggung jawab atas
perbuatannya.
“Dengan konsep kasb, aqidah Asy’ariyah menjadikan manusia selalu berusaha secara kreatif dalam kehidupannya, namun tidak melupakan bahwa Tuhanlah yang menentukan semuanya.”
Konsep mu’tazilah yang ditolak
oleh sikap tawasuth Asy’ari adalah sebagai berikut:
Menurut mu’tazilah Bahwasanya Tuhan
wajib memasukkan orang baik ke dalam surga dan memasukkan orang jahat ke dalam
neraka.
Hal itu ditolak oleh Asy’ari.
Alasannya Tuhan memiliki kekuasaan
mutlak, tidak ada yang bisa
membatasi kehendak dan kekuasaan
Tuhan. Meskipun dalam al-Qur’an Allah berjanji akan memasukkan orang baik ke dalam surga dan orang jahat ke dalam neraka. Segala keputusan tetap ada pada kekuasaan Allah.
Jika paham Mu’tazilah memposisikan akal di atas wahyu Asy’ari berpendapat wahyu di atas akal. Akan tetapi akal tetap diperlukan untuk memahami wahyu.
Jika akal tidak mampu memahami wahyu, akal harus mengikuti wahyu.
Kemudian masalah adanya sifat Allah, Mu’tazilah hanya mengakui sifat wujud Allah. Sedangkan Asy’ari berpendapat bahwa
Allah memiliki sifat. Walaupun
sifat tidak sama dengan zat-Nya,
tetapi sifat adalah qadim dan
azali. Misalnya, Allah mengetahui,
bukan dengan pengetahuan-Nya tetapi
dengan kekuasaannya.
Menurut Asy’ari kerja akal
(rasional) dihormati sebagai penerjemahan
dan penafsiran wahyu dalam rangka untuk menerapkannya dalam kehidupan. Dengan begitu
pesan-pesan wahyu dapat diterapkan oleh
semua umat manusia. Inilah pesan al-Qur’an bahwa ajaran Islam adalah rahmatan li al-‘alamin.
Namun, agar aspek akal (rasionalitas) tidak
menyimpang dari wahyu, manusia harus mengembalikan seluruh kerja akal di bawah kontrol wahyu.
B. KONSEP AQIDAH MATURIDIYAH
Pada prinsipnya, aqidah Maturidiyah
memiliki keselarasan dengan aqidah
Asy’ariyah, yang membedakannya adalah: Asy’ari
menggunakan fiqh mazhab Imam
Syafi’i dan Imam Maliki, sedangkan Maturidi
menggunakan fiqh mazhab Imam
Hanafi
Sikap tawasuth Maturidi
berkaitan dengan usaha mendamaikan antara
al-naqli (wahyu/nash) dan al-‘aqli (akal). Menggunakan akal sama pentingnya dengan menggunakan
wahyu. Suatu kesalahan bila kita
berhenti untuk berbuat pada saat tidak terdapat nash. Demikian juga, suatu kesalahan bila kita larut
tidak terkendali dalam menggunakan akal.
Allah menganugerahkan akal kepada manusia agar dia menjadi khalifah di muka bumi. Oleh karena itu,
dalam al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia untuk menggunakan akal dalam
memahami tanda-tanda (al-ayat) kekuasaan Allah yang terdapat di alam
raya. Dalam al-Qur’an misalnya ada
kalimat liqaumin yatafakkarun, liqaumin ya’qilun, liqaumin yatadzakkarun, la’allakum tasykurun,
la’allakum tahtadun dan
sebagainya. Artinya, akal berguna bagi manusia untuk memperteguh iman dan taqwanya kepada Allah SWT.
“Yang sedikit membedakan Maturidi dari Asy’ari adalah pendapat Maturidiyah tentang posisi akal terhadap wahyu. Maturidiyah meyakini bahwa wahyu harus diterima penuh.”
Menurut Maturidiyah, jika terjadi
perbedaan antara wahyu dan akal,
akal harus berperan mentakwilkannya. Terhadap ayat-ayat tajsim (Allah bertubuh) atau tasybih (Allah
serupa makhluk) harus ditafsirkan dengan
ari majazi (kiasan). Contohnya seperti lafal yadullah yang arti aslinya “tangan Allah” ditakwil menjadi
“kekuasaan Allah”.
Tentang sifat Allah, Maturidiyah
dan Asy’ariyah sama-sama menerimanya.
Namun, sifat-sifat itu bukan sesuatu yang berada di luar zat-Nya. Sifat tidak sama dengan zat, tetapi tidak dari
selain Allah. Misalnya, Tuhan Maha
Mengetahui bukanlah dengan Zat-Nya, tetapi
dengan pengetahuan (‘ilmu)-Nya (ya’lamu bi ‘ilmihi).
Dalam persoalan “kekuasaan” dan
“kehendak” (qadrah dan iradah) Tuhan, Maturidiyah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh Tuhan
sendiri. Jadi tidak mutlak. Meskipun demikian,
Tuhan tidak dapat dipaksa atau terpaksa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Misalnya, Allah menjanjikan orang baik masuk
surga dan orang jahat masuk
neraka, maka Allah akan menepati janji-janji tersebut. Tapi dalam hal ini, manusia diberikan kebebasan oleh
Allah menggunakan daya untuk
memilih antara yang baik dan yang buruk. Itulah
keadilan Tuhan.
Karena manusia diberi kebebasan
untuk memilih dalam berbuat, perbuatan
itu tetap diciptakan oleh Allah. Oleh karena itu, perbuatan manusia merupakan perbuatan bersama
manusia dan Tuhan. Allah yang
mencipta dan manusia yang meng-kasab-nya. Dengan begitu, manusia yang dikehendaki adalah manusia
yang kreatif dan sekaligus pandai
bersyukur karena kemampuannya melakukan sesuatu tetap dalam ciptaan Allah. Jadi, kreativitas itu tidak menjadikan
makhluk sombong karena merasa
mampu menciptakan dan mewujudkan.
C. SPIRIT AJARAN ASY’ARI DAN
MATURIDIYAH
Munculnya Asy’ariyah dan
Maturidiyah merupakan upaya mendamaikan
antara kelompok Jabariyah dengan kelompok Qadariyah (yang dilanjutkan oleh Mu’tazilah) yang mengagung-agungkan manusia sebagai penentu seluruh
kehidupannya. Sikap moderat keduanya
merupakan ciri utama dari kaum Aswaja dalam beraqidah.
Sikap tawasuth diperlukan
dalam rangka untuk merealisasikan amar ma’ruf nahi munkar yang selalu mengedepankan kebajikan
secara bijak. Yang prinsip bagi
Aswaja adalah berhasilnya nilai-nilai syariat Islam dijalankan oleh masyarakat, sedangkan cara yang dilakukan harus menyesesuaikan dengan kondisi dan
situasi masyarakat setempat.
Aswaja menolak ajaran-ajaran yang dimiliki oleh kelompok garis keras, seperti:
- Aswaja menolak Mu’tazilah yang memaksakan ajarannya kepada orang lain dengan cara keras.
- Aswaja Menolak untuk menuduh orang dengan tuduhan musyrik dan harus dihukum hanya karena berbeda faham.
- Aswaja an-Nahdliyah melarang penyelesaian persoalan dengan kekerasan dan pemaksaan seperti yang dilakukan oleh kelompok garis keras FPI.
- Ajaran Aswaja juga menolak kelompok-kelompok yang menutup diri dari golongan mayoritas kaum Muslimin (jamaa’atul muslimin), seperti yang ditunjukkan oleh kelompok Syiah, Khawarij, dan Mu’tazilah. Sekarang ada kelompok yang menutup diri dari mayoritas umat Islam seperti LDII.
Kaum Aswaja adalah kaum yang
selalu diikuti oleh mayoritas dan dapat menerima masukan-masukan dari dalam dan
luar untuk mencapai kebaikan yang lebih utama.
Dalam hal ini Aswaja berprinsip pada almuhafazhah ‘alal qadimi alshalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Wallahu A'lam .. (MWC NU Widasari)
0 Komentar