MWC NU WIDASARI

Ke-NU-an Bag. 2 || Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah

Pada zaman Rasulullah SAW masih ada, perbedaan pendapat di antara kaum Muslimin (sahabat) langsung dapat diselesaikan Kanjeng Nabi Muhammad SAW.. Tapi sesuadah beliau wafat, penyelesaian semacam itu tidak ditemukan. Perbedaan sering muncul lagi sebagai pertentangan dan permusuhan di antara mereka. Kemudian masuk ke dalam wilayah agama, terutama seputar hukum seorang Muslim yang berbuat dosa besar.Mereka berselisih paham tentang status hukum orang berbuat dosa besar ketika dia meninggal, apakah dia tetap Mukmin atau sudah kafir? Persoalan aqidah ini meluas ke persoalan-persoalan Tuhan dan manusia, terutama terkait perbuatan manusia dan kekuasaan Tuhan. Mereka juga berselisih paham tentang sifat Tuhan, keadilan Tuhan, melihat Tuhan, ke-huduts-an dan ke-qadim-an sifat-sifat Tuhan dan kemakhlukan al-Qur’an.

Ditengah perselisihan itu lahirlah dua kelompok moderat yang berusaha mengkompromikan keduanya. Kelompok ini kemudian dinamakan Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja). Dua kelompok tersebut adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Asy’ariyah didirikan oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari (lahir di Basrah 260 H/873 M dan wafat di Bagdad 324 H/935 M). Maturidiyah didirikan oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi yang lahir di Maturid, Samarkand dan wafat 333 H.

A. KONSEP AQIDAH ASY’ARIYAH

Aqidah Asy’ariyah merupakan jalan tengah (tawasuth) di antara kelompok keagamaan yang berkembang pada saat itu, yaitu kelompok Jabariyah dan kelompok Qadariyah.

1.    Kelompok Jabariyah - Kelompok Jabariyah berpendapat bahwa seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh Allah dan manusia tidak punya peranan apa pun.- Kekuasaan Allah adalah mutlak

2.    Qadariyah - Kelompok Qadariyah berkeyakinan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri terlepas dari Allah.- Kekuasaan Allah terbatas.

Sikap tawasuth ditunjukkan oleh Asy’ariyah dengan konsep al-kasb (upaya). Menurut Asy’ari, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam perbuatannya.

Kasb memiliki makna kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Kasb juga memiliki makna keaktifan manusia dan manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.

“Dengan konsep kasb, aqidah Asy’ariyah menjadikan manusia selalu berusaha secara kreatif dalam kehidupannya, namun tidak melupakan bahwa Tuhanlah yang menentukan semuanya.”

Konsep mu’tazilah yang ditolak oleh sikap tawasuth Asy’ari adalah sebagai berikut:

Menurut mu’tazilah Bahwasanya Tuhan wajib memasukkan orang baik ke dalam surga dan memasukkan orang jahat ke dalam neraka.

Hal itu ditolak oleh Asy’ari. Alasannya Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada yang bisa membatasi kehendak dan kekuasaan Tuhan. Meskipun dalam al-Qur’an Allah berjanji akan memasukkan orang baik ke dalam surga dan orang jahat ke dalam neraka. Segala keputusan tetap ada pada kekuasaan Allah.

Jika paham Mu’tazilah memposisikan akal di atas wahyu Asy’ari berpendapat wahyu di atas akal. Akan tetapi akal tetap diperlukan untuk memahami wahyu. Jika akal tidak mampu memahami wahyu, akal harus mengikuti wahyu.

Kemudian masalah adanya sifat Allah, Mu’tazilah hanya mengakui sifat wujud Allah. Sedangkan Asy’ari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat. Walaupun sifat tidak sama dengan zat-Nya, tetapi sifat adalah qadim dan azali. Misalnya, Allah mengetahui, bukan dengan pengetahuan-Nya tetapi dengan kekuasaannya.

Menurut Asy’ari kerja akal (rasional) dihormati sebagai penerjemahan dan penafsiran wahyu dalam rangka untuk menerapkannya dalam kehidupan. Dengan begitu pesan-pesan wahyu dapat diterapkan oleh semua umat manusia. Inilah pesan al-Qur’an bahwa ajaran Islam adalah rahmatan li al-‘alamin. Namun, agar aspek akal (rasionalitas) tidak menyimpang dari wahyu, manusia harus mengembalikan seluruh kerja akal di bawah kontrol wahyu.

B. KONSEP AQIDAH MATURIDIYAH

Pada prinsipnya, aqidah Maturidiyah memiliki keselarasan dengan aqidah Asy’ariyah, yang membedakannya adalah: Asy’ari menggunakan fiqh mazhab Imam Syafi’i dan Imam Maliki, sedangkan Maturidi menggunakan fiqh mazhab Imam Hanafi

Sikap tawasuth Maturidi berkaitan dengan usaha mendamaikan antara al-naqli (wahyu/nash) dan al-‘aqli (akal). Menggunakan akal sama pentingnya dengan menggunakan wahyu. Suatu kesalahan bila kita berhenti untuk berbuat pada saat tidak terdapat nash. Demikian juga, suatu kesalahan bila kita larut tidak terkendali dalam menggunakan akal. Allah menganugerahkan akal kepada manusia agar dia menjadi khalifah di muka bumi. Oleh karena itu, dalam al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami tanda-tanda (al-ayat) kekuasaan Allah yang terdapat di alam raya. Dalam al-Qur’an misalnya ada kalimat liqaumin yatafakkarun, liqaumin ya’qilun, liqaumin yatadzakkarun, la’allakum tasykurun, la’allakum tahtadun dan sebagainya. Artinya, akal berguna bagi manusia untuk memperteguh iman dan taqwanya kepada Allah SWT.

Yang sedikit membedakan Maturidi dari Asy’ari adalah pendapat Maturidiyah tentang posisi akal terhadap wahyu. Maturidiyah meyakini bahwa wahyu harus diterima penuh.

Menurut Maturidiyah, jika terjadi perbedaan antara wahyu dan akal, akal harus berperan mentakwilkannya. Terhadap ayat-ayat tajsim (Allah bertubuh) atau tasybih (Allah serupa makhluk) harus ditafsirkan dengan ari majazi (kiasan). Contohnya seperti lafal yadullah yang arti aslinya “tangan Allah” ditakwil menjadi “kekuasaan Allah”.

Tentang sifat Allah, Maturidiyah dan Asy’ariyah sama-sama menerimanya. Namun, sifat-sifat itu bukan sesuatu yang berada di luar zat-Nya. Sifat tidak sama dengan zat, tetapi tidak dari selain Allah. Misalnya, Tuhan Maha Mengetahui bukanlah dengan Zat-Nya, tetapi dengan pengetahuan (‘ilmu)-Nya (ya’lamu bi ‘ilmihi).

Dalam persoalan “kekuasaan” dan “kehendak” (qadrah dan iradah) Tuhan, Maturidiyah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh Tuhan sendiri. Jadi tidak mutlak. Meskipun demikian, Tuhan tidak dapat dipaksa atau terpaksa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Misalnya, Allah menjanjikan orang baik masuk surga dan orang jahat masuk neraka, maka Allah akan menepati janji-janji tersebut. Tapi dalam hal ini, manusia diberikan kebebasan oleh Allah menggunakan daya untuk memilih antara yang baik dan yang buruk. Itulah keadilan Tuhan.

Karena manusia diberi kebebasan untuk memilih dalam berbuat, perbuatan itu tetap diciptakan oleh Allah. Oleh karena itu, perbuatan manusia merupakan perbuatan bersama manusia dan Tuhan. Allah yang mencipta dan manusia yang meng-kasab-nya. Dengan begitu, manusia yang dikehendaki adalah manusia yang kreatif dan sekaligus pandai bersyukur karena kemampuannya melakukan sesuatu tetap dalam ciptaan Allah. Jadi, kreativitas itu tidak menjadikan makhluk sombong karena merasa mampu menciptakan dan mewujudkan.

C. SPIRIT AJARAN ASY’ARI DAN MATURIDIYAH

Munculnya Asy’ariyah dan Maturidiyah merupakan upaya mendamaikan antara kelompok Jabariyah dengan kelompok Qadariyah (yang dilanjutkan oleh Mu’tazilah) yang mengagung-agungkan manusia sebagai penentu seluruh kehidupannya. Sikap moderat keduanya merupakan ciri utama dari kaum Aswaja dalam beraqidah.

Sikap tawasuth diperlukan dalam rangka untuk merealisasikan amar ma’ruf nahi munkar yang selalu mengedepankan kebajikan secara bijak. Yang prinsip bagi Aswaja adalah berhasilnya nilai-nilai syariat Islam dijalankan oleh masyarakat, sedangkan cara yang dilakukan harus menyesesuaikan dengan kondisi dan situasi masyarakat setempat.

Aswaja menolak ajaran-ajaran yang dimiliki oleh kelompok garis keras, seperti:

  1. Aswaja menolak Mu’tazilah yang memaksakan ajarannya kepada orang lain dengan cara keras.
  2. Aswaja Menolak untuk menuduh orang dengan tuduhan musyrik dan harus dihukum hanya karena berbeda faham.
  3. Aswaja an-Nahdliyah melarang penyelesaian persoalan dengan kekerasan dan pemaksaan seperti yang dilakukan oleh kelompok garis keras FPI.
  4. Ajaran Aswaja juga menolak kelompok-kelompok yang menutup diri dari golongan mayoritas kaum Muslimin (jamaa’atul muslimin), seperti yang ditunjukkan oleh kelompok Syiah, Khawarij, dan Mu’tazilah. Sekarang ada kelompok yang menutup diri dari mayoritas umat Islam seperti LDII.

Kaum Aswaja adalah kaum yang selalu diikuti oleh mayoritas dan dapat menerima masukan-masukan dari dalam dan luar untuk mencapai kebaikan yang lebih utama.

Dalam hal ini Aswaja berprinsip pada almuhafazhah ‘alal qadimi alshalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Wallahu A'lam .. (MWC NU Widasari)

 


Posting Komentar

0 Komentar