Aswaja memiliki prinsip bahwa tujuan hidup yang sebenarnya adalah tercapainya keseimbangan
kepentingan dunia-akhirat dan selalu
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah, manusia harus
mencapainya melalui perjalanan beragama.
Tujuannya untuk memperoleh kesempurnaan hidup manusia (insan kamil). Kesempurnaan hidup harus sesuai
dengan gari-garis syariat yang
telah ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an
dan al-Hadits. Dengan demikian, syariat harus merupakan dasar untuk mencapai kesempurnaan hidup manusia
(insan kamil). Inilah prinsip yang
dipegangi tasawuf Aswaja.
“Tasawuf adalah masuk kedalam akhlak yang tinggi (mulia) dan keluar dari setiap akhlak yang rendah.”
Para sufi harus memahami dan menghayati
pengalamanpengalaman yang pernah
dilalui oleh Nabi Muhammad selama hidupnya.
Para sufi juga memahami dan menghayati pengalamanpengalaman para sahabat yang
kemudian diteruskan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in sampai para ulama sufi
hingga sekarang.
Memahami sejarah kehidupan (suluk) Nabi hingga para ulama waliyullah
dapat dilihat dari kehidupan pribadi dan kehidupan bermasyarakatnya
(sosialnya). Kehidupan individu dapat dilihat dari kesederhanaan duniawi (ke-zuhud-an), menjauhkan diri
dari perbuatan tercela (wara’)
dan dzikir yang dilakukannya. Kehidupan sosial dapat dilihat dalam hal sopan santun, tawadhu’ (rendah
hati), dan kesabarannya.
Kaum NU dapat memasuki kehidupan sufi melalui cara dalam
bentuk tarekat (thariqah)
yang telah digunakan oleh seorang sufi. Tidak semua tarekat yang ada dapat diterima. Kaum NU menerima tarekat yang sanadnya (sandarannya) sampai kepada
Gusti Nabi Muhammad SAW. Tarekat
yang sanadnya sampai Nabi dinamai thariqah mu’tabarah.
“Sufi adalah orang yang tidak merasa sukar dengan halhal yang terjadi pada dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa nafsu”.
Kaum NU tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan
diri dari kewajiban-kewajiban
syariat. Kewajiban syariat seperti shalat, zakat, puasa, haji, dll.Kaum NU
sangat menentang pendapat yang terdapat dalam tasawuf al-Hallaj (al-hulul)
dengan pernyataannya “ana al-Haqq” (saya adalah Tuhan) atau tasawuf Ibn
Arabi yang dikenal dengan ittihad (bersatunya kawula-Gusti).
Kaum NU menerima ajaran-ajaran tasawuf yang tidak meninggalkan syariat dan aqidah. Tasawuf yang diterima kaum NU adalah tasawuf al-Ghazali dan Juanidi al-Baghdadi. Model tasawuf al-Ghazali dan Juanidi al-Baghdadi merupakan jalan tengah (tawasuth) di antara dua kelompok yang berbeda. Kelompok tersebut adalah:
- Kelompok yang mengatakan bahwa setelah seseorang mencapai tingkat hakikat, dia tidak lagi memerlukan syari’at, dan
- Kelompok yang mengatakan bahwa tasawuf dapat menyebabkan kehancuran umat Islam, seperti yang dikatakan Ibn Taimiyah.
“Prinsip al-Tawasuth adalah sikap tengah-tengah, sedangsedang, tidak ekstrim kiri atau kanan”.
Dengan demikian, Aswaja NU mengikuti dan mengembangkan tasawuf yang moderat, yang memungkinkan
kebaikan bagi individu dan
masyarkat. Secara individual, tasawuf memungkinkan seseorang memiliki hubungan langsung dengan
Tuhan. Sedangkan secara sosial, tasawuf
bisa menggerakan jama’ah kearah kebaikan umat. Dengan tasawuf diharapkan umat memiliki kesalehan individu dan
kesalehan sosial.
Kaum Aswaja NU diharapkan dapat menyandingkan
tawarantawaran kenikmatan dari
Tuhan, sekaligus dapat menyelesaikan persoalan-persoalan
yang dihadapi umat. Ini pernah ditunjukkan oleh para penyebar Islam di Indonesia yaitu Walisanga. Secara
individu, para wali itu memiliki
kedekatan hubungan dengan Allah. Secara social wali songo selalu membenahi akhlak masyarakat dengan penuh bijaksana. Dan pada akhirnya ajaran Islam bisa
diterima oleh seluruh lapisan masyarakat
dengan penuh keikhlasan dan kepatuhan. Wallahu A’lam (MWC NU Widasari)
0 Komentar