MWC NU WIDASARI

Ke-NU-an Bag. 4 || Ijtihad Ala Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah

 


Al-Qur’an dan al-Hadits diturunkan secara berangsur-angsur, tidak sekaligus. Keduanya disampaikan kepada manusia menurut kebutuhan, kepentingan, situasi, dan kondisi yang berbeda-beda. Ketika Rasulullah SAW masih hidup, umat manusia menerima ajaran langsung dari beliau atau dari sahabat yang hadir ketika beliau menyampaikan. Setelah Rasulullah wafat, Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) dan para sahabat menyebarluaskan ajaran Islam kepada generasi berikutnya.

Dengan kondisi masyarakat dan perkembangan zaman banyak persoalan baru yang dihadapi umat. Seringkali hal yang muncul itu tidak ada jawabannya secara tegas dalam al-Qur’an dan al-Hadits.Untuk mengetahui hukum atau ketentuan atas persoalan baru itu, upaya berijtihad harus dilakukan.

A. KENAPA BER-IJTIHAD

Ijtihad ( اجتهاد ) berasal dari kata Jahada yang artinya sebuah usaha yang sungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan. Jadi, ijtihad ialah berusaha untuk berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh dengan syarat menggunakan akal sehat dan dengan pertimbangan matang. Ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.

Sesungguhnya ijtihad juga sudah dilakukan sahabat ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup. Ijtihad juga dilakukan ketika sahabat menghadapi persoalan baru tapi tidak mungkin dapat ditanyakan langsung kepada Rasulullah karena Rasulullah sudah wafat. Kegiatan ijtihad makin banyak dilakukan pada masa-masa selanjutnya oleh ulama ahli ijtihad yang di sebut dengan para mujtahid.

Tokoh yang ijtihadnya kuat disebut dengan mujtahid mustaqil. Mereka mampu menciptakan “pola pemahaman (manhaj)” tertentu terhadap sumber pokok hukum Islam, al-Qur’an dan al-Hadits.

Metode Ijtihad setidaknya menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh, qawa’idul ahkam dan qawa’idul fiqhiyyah.

Pemahaman ajaran Islam melalui ijtihad para mujtahid disebut mazhab. Mazhab berarti “jalan pikiran dan jalan pemahaman” atau “pola pemahaman”. Ada orang yang tidak mampu melakukan ijtihad sendiri karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang dimilikinya. Mereka mengikuti pemahaman dengan metode, prosedur dan produk ijtihad para mujtahid. Maka orang tersebut disebut bermazhab (menggunakan mazhab).

Dengan sistem bermazhab ini, ajaran Islam dapat terus dikembangkan, disebarluaskan, dan diamalkan dengan mudah kepada semua umat Islam. Melalui sistem bermazhab ini pewarisan dan pengamalan atau pelaksanaan ajaran Islam terpelihara dan terjamin kemurniaannya. Itu karena ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits dipahami, ditafsirkan, dan diamalkan dengan metoda ijtihad yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Walau begitu kualitas bermazhab yang sudah ada harus terus ditingkatkan, yaitu dengan peningkatan kemampuan dan penguasaan ilmu agama Islam dengan segala jenis dan cabang-cabangnya.

B. KENAPA HARUS EMPAT MAZHAB

Ada empat mazhab fiqh yang paling berpengaruh dan bisa diterima oleh warga Ahlussunnah Wal Jamaah Annahdliyyah. Empat mazhab tersebut adalah sebagai berikut:

1. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit

Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, biasa disebut Imam Hanifah. Dia lahir 80 H dan wafat 150 H di Bagdad. Abu Hanifah berdarah Persia. Beliau diberi gelar al-Imam al-A’zham (Imam Agung) dan menjadi panutan di Iraq. Beliau termasuk ahlul ra’yi (ahli pikir) dan menjadi tokoh sentralnya. Di antara manhaj istinbathnya yang terkenal adalah al-Ihtihsan. Fiqh Abu Hanifah yang menjadi rujukan utama mazhab Hanafi ditulis oleh dua orang murid utamanya, yaitu Imam Abu Yusuf Ibrahim dan Imam Muhammad bin Hasan As-Syaibani.

2. Imam Malik bin Anas

Imam Malik bin Anas, biasa disebut Imam Maliki. Beliau lahir 93 H dan wafat 179 H di Madinah. Imam Malik juga seorang ahli hadits yang sangat terkenal. Kitab monumentalnya Al-Muwatha dinilai sebagai kitab hadits paling shahih sebelum adanya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim (dua kumpulan hadits shahih yang menjadi rujukan ulama Aswaja). Imam Malik juga mempunyai konsep manhaj istinbath yang berpengaruh sampai sekarang. Kitabnya berjudul al-Maslahah al-Mursalah dan ‘Amal al-Ahl al-Madinah.

3. Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i

Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i biasa disebut Imam Syafi’i. Beliau lahir 150 H di Ghozza dan wafat 204 H di Mesir. Imam Syafi’i mempunyai latar belakang keilmuan yang memadukan antara Ahl al-Hadits dan Ahl al-Ra’yi. Hal itu karena ia cukup lama menjadi murid Imam Malik di Madinah dan juga belajar pada Imam Muhammad bin Hasan di Bagdad. Ia merupakan murid senior Imam Abu Hanifah. Metodologi istinbath-nya ditulis dengan judul al-Risalah merupakan buku pertama dalam bidang ushul fiqh. Pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa fiqh Imam Syafi’i ada dua macam. Yang disampaikan selama di Bagdad disebut al-Qaul al-Qadim (pendapat lama), dan yang disampaikan setelah berada di Mesir disebut al-Qaul al-Jadid (pendapat baru). Kedua kitab tersebut telah dihimpun Imam Syafi’i dalam kitab Al-Um.

4. Imam Ahmad bin Hambal

Imam Ahmad bin Hambal, biasa disebut Imam Hambali. Beliau lahir 164 H di Bagdad. Ia terkenal sebagai tokoh Ahl al-Hadits. Ia merupakan salah seorang murid Imam Syafi’i selama di Bagdad. Ia sangat menghormati Imam Syafi’i dan selalu mendoakannya. Ia menulis kitab hadits terkait hukum Islam yang berjudul Musnad Ahmad.

Alasan Ahlussunnah Wal Jamaah Annahdliyyah memilih empat mazhab saja adalah sebagai berikut:

  1. Kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah sangat mashur.
  2. Keempatnya merupakan Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil.
  3. Para Imam Mazhab itu mempunyai murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan mazhabnya yang didukung oleh buku induk yang masih terjamin keasliannya hingga saat ini.
  4. Para Imam Mazhab mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual di antara mereka. Mata rantai dan jaringan intelektual Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Muhammad bin Hasan adalah sebagai berikut; “Imam Abu Hanifah pernah bertemu dengan Imam Malik di Madinah sewaktu ia melakukan ibadah haji. Imam Abu Hanifah merupakan tokoh aliran ahlu al-ra’yi, sedangkan Imam Malik merupakan tokoh aliran ahlu al-Hadits. Imam Syafi’i yang cukup lama menjadi murid Imam Malik tertarik mempelajari mazhab Hanafi dari Imam Muhammad bin Hasan. Ternyata Imam Muhammad bin Hasan sudah berkenalan akrab dengan Imam Syafi’i sewaktu sama-sama belajar pada Imam Malik di Madinah.

Mujtahid Mutlak Mustaqil yaitu Imam Mujtahid yang mampu secara mandiri menciptakan Manhaj al-Fikr, pola, metoda, proses, dan prosedur istinbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkannya.

Apabila diperhatikan, keempat Imam Mazhab tersebut memiliki sikap tawadhu’ dan saling menghormati. Kebesaran dan popularitas masing-masing tidak mempengaruhi sikap dan perilaku akhlaqul karimahnya. Itu merupakan citra terpuji dari para pemegang amanah keilmuan yang luar biasa. Hal itu perlu diteladani oleh para pengikut mazhab selanjutnya.

Dari tulisan ini kita bisa belajar bahwasannya kita harus menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya, karena kita sebagai warga NU harus bisa belajar untuk menerima, menjalankan, dan menghargai ajaran Islam Ahlussunnah Waljama’ah Annahdliyyah itu sendiri. Wallahu A’lam .. (MWC NU Widasari)

Posting Komentar

0 Komentar