MWC NU WIDASARI

Ke-NU-an Bag. 5 || Budaya dan Tradisi Aswaja NU di Nusantara


A. LANDASAN DASAR TRADISI

Salah satu ciri yang paling dasar dari Aswaja adalah sikap tengahtengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri atau kanan (moderat/ tawasuth). Sikap ini mampu menjaga para pengikut Aswaja dari perilaku keagamaan garis keras yang tidak sesuai dari syariat Islam. Sikap moderat (tawasuth) juga memungkinkan para pengikut Aswaja untuk melihat dan menilai fenomena kehidupan secara benar.

Kehidupan tidak bisa dipisahkan dari budaya, yang merupakan hasil kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan memperbaiki kualitas hidupnya. Karena itu, salah satu karakter dari setiap budaya adalah perubahan yang terus-menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri.

Dalam berhubungan dengan budaya atau tradisi, Aswaja mengacu pada salah satu kaidah fiqh “al-muhafazhah ‘alal qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Kaidah ini menuntun kita untuk memperlakukan fenomena kehidupan secara seimbang dan proporsional. Seseorang harus bisa menghargai hasil-hasil kebaikan yang dibuat orang-orang pendahulu (tradisi yang ada). Seseorang juga harus bersikap kreatif mencari berbagai terobosan baru untuk menyempurnakan tradisi tersebut atau mencipta tradisi baru yang lebih baik. Sikap seperti ini memacu untuk tetap bergerak ke depan yang lebih baik dan sekaligus tidak menghilangkan akar tradisinya.

Aswaja tidak menuduh tradisi itu salah sebelam melihat dan menyelidiki keadaan yang sebenarnya (apriori). Bahkan, fiqh Aswaja menjadikan tradisi sebagai salah satu yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan sebuah hukum. Hal ini tercermin dalam salah satu kaidah fiqh “al-‘adah muhakkamah” (adat menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum).

Sikap Aswaja tidak menuduh tradisi itu salah sebelam melihat dan menyelidiki keadaan yang sebenarnya (apriori) memungkinkan kaum Aswaja bertindak selektif dan berhati-hati terhadap tradisi. Aswaja tidak menolak mentah-mentah tradisi. Sikap selektif dan berhati-hati kaum Aswaja mengacu kepada salah satu kaidah fiqh “ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh” (jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, tidak harus ditinggalkan semuanya).

Aswaja dalam menetapkan sebuah hukum dengan mempertimbangkan kaidah fiqh “al-‘adah muhakkamah” (adat menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum).

Aswaja Selektif terhadap tradisi karena mengacu pada kaidah fiqh “ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh” (jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, tidak harus ditinggalkan semuanya).

 
B. SIKAP TERHADAP TRADISI

Pertanyaan penting yang harus dijawab di bagian ini adalah “bagaimanakah menggunakan kaidah-kaidah fiqh dalam mensikapi tradisi?”. Banyak orang yang mempertentangkan antara budaya dengan agama.

Hubungan antara agama dan budaya menurut Aswaja adalah sebagai berikut:

Agama berasal dari Tuhan yang bersifat sakral (suci/ukhrawi). Sedangkan Budaya merupakan kreasi manusia yang bersifat duniawi (profan). Sedangkan hubungan Agama dan Budayasejak diturunkannya agama, agama tidak bisa lepas dari budaya, karena budaya sebagai sarana untuk mengekspresikan agama.

Aswaja sebagai paham keagamaan yang bersifat moderat memandang dan memperlakukan budaya secara wajar (Proporsional). Sebagai hasil atau kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, budaya tentu memiliki nilai-nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia. Kebaikan tersebut baik secara personal maupun sosial masyarakat. Jika suatu tradisi atau budaya tidak bertentangan dengan ajaran pokok agama Islam, dalam arti mengandung kebaikan, tradisi itu bisa diterima.

Beberapa kaidah fiqh yang disebutkan di atas memungkinkan pengikut Aswaja melakukan musyawarah dan diskusi dengan budaya yang ada. Budaya bisa digunakan sebagai sarana untuk menerapkan ajaran atau nilai-nilai agama. Artinya agama dan budaya dapat digabungkan asalkan tidak menyimpang dari ajaran pokok Islam.

Jadi Aswaja tidak menolak mentah-mentah tradisi atau budaya karena di dalamnya mungkin menyimpan butir-butir kebaikan. Dengan begitu, Aswaja tidak menghancurkan tradisi secara keseluruhan, tetapi mempertahankan unsur-unsur kebaikan yang ada dan menyelaraskan unsur-unsur lain agar sesuai dengan Islam. Inilah makna kaidah.

Aswaja dalam mensikapi tradisi berlaku kaidah “al-muhafazhah ‘alal qadimi al-shalih wa alakhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).

Contoh dalam hal ini seperti yang kita kenal sekang Tahlilan, selametan atau kondangan atau kenduri yang sudah ada sebelum Islam datang. Jika kelompok lain memandang selametan sebagai bid’ah yang harus dihilangkan, Aswaja memandangnya secara proporsional (wajar). Di dalam selametan ada unsur-unsur kebaikan. Unsur kebaikan dalam selametan antara lain: merekatkan persatuan dalam masyarakat, menjadi sarana bersedekah dan bersyukur kepada Tuhan, serta mendoakan yang sudah meninggal. Semua itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam sehingga tidak ada alasan menghilangkannya.

Sementara hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti sesaji untuk makhluk halus. Aswaja secara pelan-pelan dengan penuh kearifan menselaraskan untuk merubah maksudnya, yaitu dengan hanya menyembah kepada Allah sebagaimana disyariakan Islam. Sikap seperti itu telah diteladankan oleh para Walisanga dalam menyebarkan Islam di Nusantara.

Sikap terhadap tradisi sudah dicontohkan oleh Nabi, seperti sikap beliau terhadap haji. Haji merupakan suatu ibadah yang sudah ada sejak sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Nabi tidak menghilangkan haji, tetapi haji diisi dengan ruh tauhid dan hal-hal yang berbau sirik dibersihkan. Sikap inilah yang kemudian diteruskan oleh para sahabat dan pengikutnya, termasuk Walisanga, yang disebut dengan kaum Sunni atau Aswaja.

Perbedaan Dakwah kaum Aswaja dengan kaum non-Aswaja diantaranya adalah :

  1. Dimana ketika Kaum Sunni melakukan dakwah selalu dengan konsep yang arif (bil hikmah). Sedangkan Kaum Non-Sunni atau Non-Aswaja melakukan dakwah secara destruktif (merusak) dengan menghancurkan tatanan atau segala sesuatu yang dianggap sesat.
  2. Aswaja melakukan aktivitas dakwah dalam satu tatanan kehidupan yang saling menghargai dan damai (peaceful co-existance). Sedangkan Kaum Non-Sunni atau Non-Aswaja melakukan dakwah penuh dengan kekerasan

Cara dakwah dengan kekerasan dan menyalahkan orang lain dapat ditemui pada saat FPI (Front Pembela Islam) belum dibubarkan oleh pemerintah, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan masih banyak lagi. Imam Syafi’i mengatakan “kullu ra’yi shawab yahtamilu khatha’, wa kullu ra’yi ghairi khatha’ yahtamilu shawab” (pendapatku adalah benar tapi kemungkinan mengandung unsur salah, pendapat orang lain adalah salah tapi kemungkinan mengandung unsur benar). Hal ini merupakan sebuah sikap seimbang: teguh memegang pendiriannya, tapi tetap bersikap terbuka karena kebenaran juga dimungkinkan ada pada orang lain.

Kaidah tersebut yang memandu Aswaja untuk tidak berperilaku seperti ‘preman berjubah’, yang berteriak “Allah Akbar” sambil mengacung-acungkan pentungan dan pedang untuk menghancurkan kelompok lain yang dianggap sesat. Seakan-akan mereka paling benar, sedangkan yang lainnya adalah sesat. Wallahu A’lam … (MWC NU Widasari)


Posting Komentar

0 Komentar