Salah satu ciri yang paling dasar dari Aswaja adalah sikap
tengahtengah, sedang-sedang, tidak
ekstrim kiri atau kanan (moderat/ tawasuth).
Sikap ini mampu menjaga para pengikut Aswaja dari perilaku keagamaan garis
keras yang tidak sesuai dari syariat Islam. Sikap moderat (tawasuth)
juga memungkinkan para pengikut Aswaja untuk
melihat dan menilai fenomena kehidupan secara benar.
Kehidupan tidak bisa dipisahkan dari budaya, yang
merupakan hasil kreasi manusia untuk
memenuhi kebutuhan dan memperbaiki kualitas
hidupnya. Karena itu, salah satu karakter dari setiap budaya adalah perubahan yang terus-menerus
sebagaimana kehidupan itu sendiri.
Dalam berhubungan dengan budaya atau tradisi, Aswaja
mengacu pada salah satu kaidah
fiqh “al-muhafazhah ‘alal qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan hal lama
yang baik dan mengambil hal baru
yang lebih baik). Kaidah ini menuntun kita
untuk memperlakukan fenomena kehidupan secara seimbang dan proporsional. Seseorang harus bisa
menghargai hasil-hasil kebaikan yang
dibuat orang-orang pendahulu (tradisi yang ada). Seseorang juga harus bersikap kreatif mencari
berbagai terobosan baru untuk menyempurnakan
tradisi tersebut atau mencipta tradisi baru yang lebih baik. Sikap seperti ini memacu untuk tetap bergerak ke
depan yang lebih baik dan
sekaligus tidak menghilangkan akar tradisinya.
Aswaja tidak menuduh tradisi itu salah sebelam melihat dan menyelidiki keadaan yang sebenarnya
(apriori). Bahkan, fiqh Aswaja menjadikan
tradisi sebagai salah satu yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan sebuah hukum. Hal ini tercermin dalam salah
satu kaidah fiqh “al-‘adah
muhakkamah” (adat menjadi pertimbangan
dalam penetapan hukum).
Sikap Aswaja tidak menuduh tradisi itu salah sebelam melihat dan menyelidiki keadaan yang sebenarnya (apriori) memungkinkan kaum Aswaja bertindak selektif dan berhati-hati terhadap tradisi. Aswaja tidak menolak mentah-mentah tradisi. Sikap selektif dan berhati-hati kaum Aswaja mengacu kepada salah satu kaidah fiqh “ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh” (jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, tidak harus ditinggalkan semuanya).
Aswaja dalam menetapkan sebuah hukum dengan mempertimbangkan kaidah fiqh “al-‘adah muhakkamah” (adat menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum).
Aswaja Selektif terhadap tradisi karena mengacu pada kaidah fiqh “ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh” (jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, tidak harus ditinggalkan semuanya).
Pertanyaan penting yang harus dijawab di bagian ini adalah “bagaimanakah menggunakan kaidah-kaidah
fiqh dalam mensikapi tradisi?”.
Banyak orang yang mempertentangkan antara budaya dengan agama.
Hubungan antara agama dan budaya menurut Aswaja adalah sebagai berikut:
Agama berasal dari
Tuhan yang bersifat sakral (suci/ukhrawi). Sedangkan Budaya merupakan kreasi manusia yang bersifat duniawi (profan).
Sedangkan hubungan Agama dan Budayasejak diturunkannya agama, agama tidak bisa lepas dari budaya, karena budaya sebagai sarana untuk mengekspresikan agama.
Aswaja sebagai paham keagamaan yang bersifat moderat
memandang dan memperlakukan budaya
secara wajar (Proporsional). Sebagai hasil
atau kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, budaya tentu memiliki nilai-nilai positif yang bisa
dipertahankan bagi kebaikan
manusia. Kebaikan tersebut baik secara personal maupun sosial masyarakat. Jika
suatu tradisi atau budaya tidak bertentangan dengan ajaran pokok agama Islam,
dalam arti mengandung kebaikan, tradisi itu bisa diterima.
Beberapa kaidah fiqh yang disebutkan di atas memungkinkan pengikut Aswaja melakukan musyawarah
dan diskusi dengan budaya yang
ada. Budaya bisa digunakan sebagai sarana untuk menerapkan ajaran atau nilai-nilai agama. Artinya
agama dan budaya dapat digabungkan
asalkan tidak menyimpang dari ajaran pokok Islam.
Jadi Aswaja tidak menolak mentah-mentah tradisi atau
budaya karena di dalamnya mungkin
menyimpan butir-butir kebaikan. Dengan begitu,
Aswaja tidak menghancurkan tradisi secara keseluruhan, tetapi mempertahankan unsur-unsur kebaikan
yang ada dan menyelaraskan unsur-unsur
lain agar sesuai dengan Islam. Inilah makna kaidah.
“Aswaja dalam mensikapi tradisi berlaku kaidah “al-muhafazhah ‘alal qadimi al-shalih wa alakhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).”
Contoh dalam hal ini seperti yang kita kenal sekang Tahlilan, selametan atau kondangan
atau kenduri yang sudah
ada sebelum Islam datang. Jika kelompok lain memandang selametan sebagai bid’ah yang harus
dihilangkan, Aswaja memandangnya
secara proporsional (wajar). Di dalam selametan ada unsur-unsur kebaikan. Unsur kebaikan
dalam selametan antara lain: merekatkan
persatuan dalam masyarakat, menjadi sarana bersedekah dan bersyukur kepada Tuhan, serta mendoakan yang sudah
meninggal. Semua itu tidak
bertentangan dengan ajaran Islam sehingga tidak ada alasan menghilangkannya.
Sementara hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam,
seperti sesaji untuk makhluk
halus. Aswaja secara pelan-pelan dengan penuh kearifan menselaraskan untuk merubah maksudnya, yaitu dengan hanya menyembah kepada Allah
sebagaimana disyariakan Islam. Sikap seperti
itu telah diteladankan oleh para Walisanga dalam menyebarkan Islam di Nusantara.
Sikap terhadap tradisi sudah dicontohkan oleh Nabi, seperti
sikap beliau terhadap haji. Haji
merupakan suatu ibadah yang sudah ada sejak
sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Nabi tidak menghilangkan haji, tetapi haji diisi dengan ruh
tauhid dan hal-hal yang berbau sirik dibersihkan.
Sikap inilah yang kemudian diteruskan oleh para sahabat dan pengikutnya, termasuk Walisanga, yang disebut dengan kaum Sunni atau Aswaja.
Perbedaan Dakwah kaum Aswaja dengan kaum non-Aswaja diantaranya adalah :
- Dimana ketika Kaum Sunni melakukan dakwah selalu dengan konsep yang arif (bil hikmah). Sedangkan Kaum Non-Sunni atau Non-Aswaja melakukan dakwah secara destruktif (merusak) dengan menghancurkan tatanan atau segala sesuatu yang dianggap sesat.
- Aswaja melakukan aktivitas dakwah dalam satu tatanan kehidupan yang saling menghargai dan damai (peaceful co-existance). Sedangkan Kaum Non-Sunni atau Non-Aswaja melakukan dakwah penuh dengan kekerasan
Cara dakwah dengan kekerasan dan menyalahkan orang lain dapat ditemui pada saat FPI
(Front Pembela Islam) belum dibubarkan oleh pemerintah, Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan masih banyak lagi. Imam
Syafi’i mengatakan “kullu ra’yi shawab yahtamilu khatha’, wa kullu ra’yi ghairi khatha’
yahtamilu shawab” (pendapatku adalah benar
tapi kemungkinan mengandung unsur salah, pendapat orang lain adalah salah tapi kemungkinan mengandung unsur benar). Hal
ini merupakan sebuah sikap seimbang: teguh memegang pendiriannya, tapi tetap
bersikap terbuka karena kebenaran juga dimungkinkan ada pada orang lain.
Kaidah tersebut yang memandu Aswaja untuk tidak
berperilaku seperti ‘preman
berjubah’, yang berteriak “Allah Akbar” sambil mengacung-acungkan pentungan dan pedang untuk menghancurkan kelompok lain yang dianggap sesat.
Seakan-akan mereka paling benar, sedangkan
yang lainnya adalah sesat.
Wallahu A’lam … (MWC NU Widasari)
0 Komentar