MWC NU WIDASARI

Ke-NU-an Bag. 6 || Memahami Hubungan Antara Aliran Teologi dan Politik


A. TEOLOGI DAN POLITIK

Tradisi Sunni (Ahlussunnah Waljamaah) lahir dari kalangan sahabat Nabi yang bersikap netral dalam perebutan kekuasaan. Pada waktu itu berkembang berbagai aliran teologis (kalam) yang saling bersaing. Aliran-aliran tersebut antara lain: Khawarij, Syiah, dan Muktazilah.

Sebenarnya teologi yang berarti ‘ilmu berkaitan dengan Tuhan’perlu dimiliki setiap Muslim. Akan tetapi, kita perlu kritis terhadap aliran teologis yang ada. Kelahiran aliran teologi tidak terjadi tanpa sebab dan seringkali ada kepentingan politik di dalamnya. Lahirnya aliran teologi terjadi setelah masa Khulafaur Rasyidin, dimulai dengan munculnya kelompok Khawarij yang berhasil membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, muncul aliran Jabariyah yang digunakan oleh Khalifah Muawiyah untuk membenarkan hak kekhalifahannya. Aliran ini percaya pada kemutlakan takdir. Mereka percaya bahwa Allah sudah menakdirkan Muawiyah sebagai khalifah.

Teologi Jabariyah ditentang oleh kelompok Syiah yang menjadi pendukung Khalifah Ali bin Abi Thalib. Kelompok Syiah kemudian mengembangkan aliran teologi qadariyah (usaha) yang berkeyakinan bahwa manusia wajib berusaha karena Allah sudah menganugerahi manusia dengan akal untuk menentukan pilihan baik atau buruk.

”Kelahiran aliran teologi tidak terjadi tanpa sebab dan seringkali ada kepentingan politik di dalamnya”.

B. AHLUSSUNNAH WALJAMAAH (ASWAJA)

Asal-usul Aswaja bisa dilacak kepada sekelompok sahabat Nabi yang bersifat netral (tidak memihak) dalam perebutan kekuasaan setelah masa Khulafaur Rasyidin. Meskipun demikian, aliran teologi Aswaja lahir atas prakarsa Khalifah Abdul Malik untuk menciptakan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat sangat penting untuk menjaga ketertiban dalam menjalankan tugas agama (beribadah).

Kemunculan aliran teologi diataranya adalah :

  1. Aliran Jabariyah pada saat munculnya pendukung Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan.
  2. Aliran Qadariyah munculnya pengikut Syiah yang menentang pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan.
  3. Aliran Aswaja ketika kemunculan beberapa para sahabat yang netral (tidak memihak) dalam perebutan kekuasaan setelah masa KhulafaurRasyidin, yang kemudian Dimunculkan sebagai aliran teologi oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan.

Menurut kaidah Fiqh, sesuatu yang menjadi prasyarat bagi sesuatu yang lain maka hal itu hukumnya menjadi wajib. Oleh karena itu, Aswaja menganggap penting negara yang berfungsi sebagai sarana untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat. Aswaja mendukung siapa saja yang berhasil menjaga ketertiban masyarakat karena Aswaja tidak memihak salah satu aliran teologi yang ada pada waktu itu. Dalam hal ini, Aswaja mendukung Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang berhasil menjaga ketertiban masyarakat. Dukungan itu berkaitan dengan pentingnya negara sebagai alat untuk menyejahterakan masyarakat. Aswaja tidak setuju dengan konsep faula (hidup tanpa negara). Meskipun demikian, Aswaja tidak menjadikan negara sebagai bagian dari Rukun Iman maupun Rukun Islam. Jadi, mendirikan negara bukan merupakan perintah agama yang wajib untuk setiap orang, namun hanya fardhu kifayah. Dengan begitu, sahnya kegiatan ibadah tidak ditentukan oleh Khalifah.

Dalam hubungan Islam dan negara, Aswaja berpandangan bahwa negara berdiri berkat kekuatan (senjata, politik, massa) yang ada di masyarakat. Sebuah negara tidak terjadi begitu saja tanpa perjuangan.Banyak jasa para pendahulu yang mengupayakan berdirinya sebuah negara. Aswaja membedakan agama dan negara sebagai dua identitas yang berbeda, walaupun keduanya harus saling mengisi.

Menurut kaidah Fiqh, sesuatu yang menjadi syarat sahnya sesuatu yang lain maka hal itu hukumnya menjadi wajib. Oleh karena itu, Aswaja menganggap penting negara yang berfungsi sebagai sarana untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat.

Apa yang dilakukah Khalifah Abdul Malik merupakan sesuatu yang luar biasa bagi kemajuan peradaban Islam. Dia menyetujui konsep tarbi’ yang kontroversial karena tidak menyebut Muawiyah sebagai pendiri kekhalifahan Bani Umayah. Konsep tarbi’ hanya menyebutkan nama keempat khulafaur rasyidin dalam kutbah Jum’at. Khalifah Abdul Malik juga menyetujui konsep irja’. Konsep irja’ menyatakan bahwa hanya Allah yang berhak menghakimi seseorang itu kafir atau tidak. Bagi Aswaja, hukum mendirikan negara adalah fardhu kifayah, tidak wajib seperti yang diyakini Syiah dan Hizbut Tahrir (Nurcholish Madjid, 1989: 66-70).

Hizbut Tahrir, Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Syiah bersifat ideologis dalam memahami Islam. Mereka ingin mendirikan negara Islam. Hizbut Tahrir mensyaratkan berdirinya kekhalifahan sebagai syarat mendirikan Shalat Jumat. Begitu juga dengan Syiah yang meyakini bahwa hanya Imam Syiah yang berhak menyelenggarakan Shalat Jumat. Pemahaman Islam yang ideologis juga nampak pada Ihwanul Muslimin di Mesir. Presiden Morsi tidak melarang pendukungnya melawan militer sehingga pecah perang saudara di Mesir. Akibatnya, terjadi kekacauan yang mengganggu ketertiban dalam beragama.

Aswaja sebagaimana diyakini K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memahami Islam yang tidak ideologis. Karena Gus Dur menggunakan pendekatan Fiqh, yang menjadi keyakinan dari Aswaja. Bukti bahwa Gus Dur tidak bersifat ideologis adalah dengan legawa lengser dari jabatan Presiden untuk menghindari kekacauan dan pertumpahan darah. Beliau tidak memaksakan diri untuk tetap menjadi presiden karena jabatannya tidak ada kaitannya dengan Rukun Iman atau Rukun Islam. Dalam pandangan Gus Dur, tidak ada satupun jabatan di dunia ini yang layak dipertahankan mati-matian.

Dari sini kita mengetahui dan Memahami hubungan antara aliran teologi dan politik sekaligus mendapatkan penjelaskan kemunculan aliran-aliran teologi dalam Islam, sehingga kita memahami istilah yang digunakan dalam ilmu teologi dan memahami inti ajaran aswaja. Wallahu A'lam ... (MWC NU Widasari)

Posting Komentar

1 Komentar

Anonim mengatakan…
Alhamdulillah...
NUantap