NU adalah organisasi keagaman dan juga sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, baik secara langsung maupun tidak langsung juga terlibat dalam bidang politik dan pemerintahan. seperti yang sudah di tulis pada artikel sebelumnya Ke-NUan bagian 6, bahwasanya pemikiran tentang politik sudah ada sejak zaman Rasulullah sampai dengan Khulafaur Rasyidin, tanpa terkecuali juga dengan Nahdlatul Ulama.
Pada bulan Oktober 1943 MIAI membubarkan diri dan sebagai gantinya dibentuklah Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) yang pada bulan 1943 mendapatkan status hukum dari pemerintah Jepang. Pada awalnya NU mendukung penuh berdirinya Masyumi ini dan ini dibuktikan dengan himbauan NU kepada warganya untuk masuk menjadi anggota Masyumi.
Hubungan harmonis NU dan Masyumi tidak berjalan lama. Hubungan ini menjadi retak sejak
kelompok modernis yang dipipin oleh
M. Natsir berhasil memenangkan kepemimpinan dan mengubah peraturan-peraturan untuk membatasi peran majlis syuro yang dipimpin oleh KH Wahab Hasbullah dan
para ulama NU yang lain.
NU dilecehkan oleh kaum modernis sehingga menyebabkan NU walk out. Kecenderungan yang berkembang
bahwa NU anti tradisional. Sehingga
pada tahun 1950 komisi organisasi mengusulkan agar NU keluar dari Masyumi. Pertikaian ini semakin memuncak ketika
Masyumi menolak usulan NU untuk
menjadikan orang NU duduk di menjabat menteri
Agama di dalam kabinet Wiloppo. Sebab terlepasnya jabatan ini berarti terlepas pula posisi strategis
NU dalam pemerintahan. Pada tahun
1952 terjadi perdebatan sengit tentang status NU di Masyumi.
KH. Abdul Wahab mengusulkan agar NU keluar dari Masyumi dan
usul ini diterima jika memang
sudah tidak ada jalan negoisasi. Dan pada
tanggal 1 Agustus 1952 NU resmi keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri. Tahun 1952-1955 adalah masa-masa NU memperkenalkan diri kepada masyarakat luas tentang jati
dirinya. Dengan cepat NU mendapat
suara banyak. Sebab selain NU berbasis masa banyak, karena diperkirakan 70% suara Masyumi berasal dari NU, juga
karena saat itu Masyumi dengan
Sukarno ada ketidakharmonisan. Hal itu menyebabkan
NU bisa lebih dekat dan lebih diterima oleh Sukarno karena dianggap sebagai partai moderat.
Ketidak harmonisan
NU-Masyumi terulang lagi ketika Kabinet Sastro
Amijoyo terbentuk. Hal itu karena NU memiliki wakil yang duduk sebagai menteri Agama. Hal ini dikecam habis oleh Masyumi sebab NU dianggap berjalan sendiri
karena sebelumnya sudah akan berkoalisi
dengan Masyumi. Hanya saja negosiasi antara Masyumi-NU mengenai kabinet baru telah gagal. Meskpun demikian, NU
bersikeras terlibat dengan
didasarkan pada kaidah amar ma’ruf nahi munkar dan mashlahah. Alasannya adalah, pertama,
mencegah bahaya terhadap bangsa
dan sistem politiknya serta untuk menebus kebuntuan berkepanjangan tentang kabinet pemerintahan, dan kedua, untuk melindungi kepentingan NU dan para
pemilih muslimnya.
Pada tahun 1955, NU muncul sebagai partai terbesar ketiga
dengan peroleh suara 18.4 % atau
perolehan 45 kursi meningkat dari 8 kursi.,Pada tahun 1957 Indoensia sistem demokrasi terpimpin dari
demokrasi parlementer. Ada tiga
hal yang dicermati dalam transisi dari demokrasi parlementer menuju demokrasi terpimpin ini. Pertama,
beralihnya kekuasaan dari parlemen
dan partai yang dipilih secara demokratis
ke tangan eksekutif, terutama presiden. Kedua, marginalisasi
Masyumi akibat keterlibatannya
dalam pemberontakan daerah yang gagal dan
menentang kukuh terhadap reformasi politik Sukarno. Ketiga, meluasnya peran dan pengaruh PKI dan kelompok
sayap kiri lainnya.
Dalam mensikapi perubahan politik tersebut NU terpecah
menjadi dua golongan. Golongan
pertama secara keras menolak semua kebijaksaan
itu sedangkan golongan keduanya menerima. Alasan golongan yang menentang karena demokrasi yang dijalankan tidak sesuai dengan Islam serta dianggap
telah bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi dan di sisi lain menerima PKI. Sementara golongan yang menerima beralasan bahwa melakukan oposisi adalah pekerjaan sia-sia saja, bahkan akan
mengundang bahaya besar karena
kedudukan Sukarno sangat kuat. Dengan masuk ke dalam pemerintahan diharapkan bisa memiliki pengaruh atas Sukarno dan dapat menandingi aktifitas PKI.
Ada dua hal membuat NU terdesak, apakah harus bersifat
radikal ataukah moderat terkait
dengan keikutsertaannya dengan lembaga yang
dibentuk pada masa transisi ini. Pertama, pada tahun 1957 adanya Kabinet Ekstra Parlementer sedangkan
yang kedua, pada tahun 1960 Sukarno
membentuk Kabinet Gotong Royong. KH Wahab yang saat itu menjadi Rais ‘Am memilih untuk masuk ke dalam kabinet
bentukan pemerintah dengan istilah
“masuk dulu keluar gampang” dengan satu
komitmen tidak akan bekerja sama dengan PKI. Demikianlah, NU masuk ke dalam
kabinet bukan untuk bekerja sama dengan PKI namun beusaha untuk menjadi
rivalnya, apalagi setelah PKI mengeluarkan jargon anti agama. Itulah sebabnya
ketika terjadi pembubaran dan pembunuhan
PKI secara besar-besaran, para pemimpin NU bersama dengan jama’ahnya berada di garda depan.
Ketika rezim Sukarno jatuh dan digantikan oleh Rezim
Suharto dan saat itu NU masih
memiliki posisi yang bagus. Terbukti pada tahun 1971 NU masih bisa mendapatkan
suara 18.7%. Pada tahun 1973 Suharto menerbitkan kebijaksanaan fusi partai untuk menata kehidupan politik. Empat
partai melebur menjadi satu ke
dalam Partai Persatuan Pembangunan, sementara partai nasionalis dan partai non Islam masuk ke dalam
PDI. Kebijaksanaan ini langsung diterima
oleh Idam Khalid (Ketua Umum PBNU saat itu). Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di antara warga NU sendiri. Namun semuanya sepakat bahwa mereka harus
melakukan sesuatu yang terbaik.
Selama sepuluh tahun NU tidak bisa berbuat banyak di PPP
sebab NU sebagai penyumbang suara
terbesar justru malah dipinggirkan. Pada
awalnya peleburan ini tidak menjadi masalah serius dalam partai karena jabatan-jabatan politik
strategis masih di tangan NU. Dalam perjalanan
politiknya, Golkar melakukan tekanan-tekanan kepada rakyat agar memilih partai gambar pohon beringin tersebut. Hal
ini memicu KH Bisri untuk mengeluarkan
fatwa wajib memilih PPP.
Dalam perjalanannya NU semakin termarjinalkan di PPP.
Terutama setelah Jaelani Naro
menobatkan dirinya menjadi Ketua Umum. Dia
membuat draft sepihak tentang calon DPR dari PPP dan menempatkan para tokoh NU yang vocal di nomor akhir
pada akhirnya tidak bisa menjadi
anggota legislatif. Meskipun ada protes keras dari anggota namun pemerintah menerima usulan Naro
sebagai satu-satunya daftar yang
bisa diterima.
Pada awal tahun 1980-an Suharto menjadikan Pancasila
sebagai satu-satunya ideologi
(menjadi asas tunggal) dan menolak ideologiideologi lain seperti agama, komunis, dan lainnya. Semua orang yang tidak setuju dianggap melakukan
tindakan subversif sehingga terjadi banyak
pelanggaran seperti penembakan ratusan demonstran di Tanjung Priok.
Pada tahun 1980 KH Bisri Samsuri wafat dan digantikan oleh
KH Ali Maksum dari Krapyak
Yogyakarta. Pada tahun 1983 diadakan Munas di Situbondo dan menghasilkan
keputusan penting dalam sejarah NU, yaitu NU keluar dari PPP, yang artinya NU
sudah terlepas dari politik praktis dan kembali kepada khithahnya, yaitu
organisasi sosial keagamaan. Nahdlatul Ulama sudah bukan menjadi wadah bagi
politik praktis. Dan seluruh warga
NU dipersilakan memilih parpol secara bebas.
Pada tanggal 8-12 Desember tahun 1984 diadakan Muktamar NU di Situbondo. Ada empat keputusan
penting dalam Muktamar tersebut,
yaitu:
- Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal dan landasan dasar NU.
- Pemulihan keutamaan kepemimpinan ulama dengan menegaskan supremasi Syuriyah dan Tanfidziyah dalam status hukum.
- Penarikan diri dari ‘politik praktis’ dengan cara melarang pengurus NU secara bersamaan memegang kepengurusan di dalam partai politik.
- Pemilihan pengurus baru dengan usulan program baru yang lebih menekankan pada bidang-bidang non-politik.
Dalam sejarahnya, NU pernah menjadi organisasi partai politik, dan menjadi organisasi sosial keagamaan.
Pada tanggal 21 Mei 1998 Suharto menyerahkan kembali
jabatan presiden yang diembannya
kepada MPR. Penyerahan ini disebabkan adanya
tuntutan rakyat yang tidak bisa dibendung sejak krisisi ekonomi melanda negeri ini. Sesuai dengan UUD 45, jika Presiden mengundurkan diri maka akan digantikan
oleh wakil presiden. BJ Habibi
yang sebelumnya menjadi wakil presiden pun akhirnya menjadi orang nomor satu di negeri ini. Dengan
demikian berakhirlah Orde Baru
dibawah kepemimpinan Rezim Suharto dan berganti menjadi Era Reformasi.
Era Reformasi benar-benar membawa perubahan di negeri ini. Semua kekangan dan pasungan yang
dirasakan oleh rakyat seolah menjadi
terlepas seketika. Rakyat menuntut adanya perubahan atau perbaikan di segala sektor yang meliputi politik, sosial,
budaya, pertahanan, dan keamanan.
Demokrasi harus dilaksanakan dengan seutuhnya.
Pemerintahan harus benar-benar dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Perubahan peta politik di Indonesia benar-benar
signifikan. Partai-partai yang pada masa Suharto di difusikan menjadi tiga,
pecah hingga terdapat 48 partai
yang ikut pemilu. Sebagai pihak yang selama Orde baru termarjinalkan, NU bangkit untuk mengambil bagian dari hak-hak politiknya.
Akhirnya warga NU pun mendirikan partai. Ada beberapa partai yang sempat berdiri. Ada Partai
Suni, ada Partai Kebangkitan Umat
(PKU), ada Partai Nahdlatul Umat (PNU) dan ada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Dari berbagai partai yang didirikan oleh tokoh-tokoh NU di atas, PKB adalah partai yang terbesar
dan terbanyak pemilihnya. Ini disebabkan karena PKB bukan saja partai yang
dididirikan oleh warga NU namun juga karena PKB didirikan melalui rapat tim
lima dan tim sembilan yang dibentuk oleh PBNU. Akhirnya pada tanggal 23 Juli 1998
atau 29 Rabiul Awal 1419 PKB dideklarasikan oleh lima orang tokoh NU, yaitu KH
Moh Ilyas, Rukhiyat, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Munasir, KH Mushtofa Bisri
(Gus Mus), dan KH Abdul Muhith Muzadi.
Meskipun PKB adalah partai yang dididrikan oleh warga NU
dan sebagai wadah penyalur
aspirasi warga NU, namun PKB bersifat terbuka.
Artinya, siapapun boleh ikut PKB. Adapun hubungan PKB dengan NU, ada tiga pola hubungan, yaitu:
- Hubungan histories (kesejarahan), artinya setiap pendukung dan warga PKB harus menyadari sepenuhnya bahwa partai ini dirintis, didirikan, dan direstui oleh NU.
- Hubungan kultural (budaya), artinya pola pikir, dasar berpijak bagi sikap dan perilaku pendukung ini harus senantiasa didasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di kalangan NU.
- Hubungan aspiratif yang berarti cita-cita, keinginan, program perjuangan dan semua langkah kebijakan partai ini harus seirama dengan aspirasi, cita-cita, dan keinginan NU.
Dengan kerja keras dan dukungan dari warga NU PKB bisa mendapatkan posisi termasuk empat
besar, setelah PDI, Golkar, dan PPP.
Yang lebih mengejutkan adalah PKB yang hanya memperoleh 51 kursi dari 500 kursi
yang ada ternyata mampu mengantarkan salah satu pendirinya menjadi presiden RI
dengan jalan pemilihan secara demokratis dan terbuka karena prosesnya disiarkan
melalui televisi yang dipancarkan ke seluruh penjuru negeri.
Dalam pembentukan kabinet Gus Dur melibatkan partai-partai
lain. Penyusunan kabinetnya pun
melibatkan Amin Rais (Ketua MPR yang juga
ketua PAN), Megawati (Wakil Presiden yang juga ketua PDI P), dan Akbar Tanjung (Ketua DPR yang juga
ketua Golkar), dan Wiranto (Panglima
TNI). Kabinet yang dihasilkannya pun berasal dari bermacam partai agar setiap elemen
berpartisipasi dalam memecahkan berbagai masalah
yang dihadapi bangsa.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid ingin memberantas KKN. Akan tetapi, ternyata usaha ini tidaklah
mudah. Skandal Bank Bali yang melibatkan
beberapa menteri diusut. Kasus KKN keluarga Suharto dan sekutunya juga akan diusut. Begitu pula dengan berbagai kasus
lain seperti pelanggaran HAM dan
sebagainya. Hal ini menyebabkan lawanlawan
politiknya, terutama mereka yang tersangka sebagai pelaku, merasa tidak senang. Apalagi bongkar
pasang kabinet yang semakin membuat
orang atau partai yang merasa dirugikan bertambah benci.
Akhirnya mereka mencari berbagai alasan untuk menumbangkan kekuasaan Abdurrahman Wahid. Anggota
dewan mempertanyakan likudasi
terhadap dua departeman yang dilakukan pemerintah. Lalu mereka juga menanyakan tentang Bulong Gate dan Beunai Gate. Politik Indonesia benar-benar dalam
keadaan kritis karena tidak ada lagi
kata sepakat antara legislatif dan eksekutif.
Menghadapi krisis sosial dan politik yang demikian PBNU mengeluarkan tausiyah hasil rapat pleno
yang dilaksanakan pada tanggal
13-15 April 2001 di Cilegon. di Cilegon yang berisi:
- Hentikan efouria kebebasan pendapat di kalangan elite politik, fokuskan perhatian pada penataan kehidupan berbangsabernegara agar lebih bermanfaat.
- Kalangan yudikatif, legislatif, dan eksekutif segera menghentikan pertikaian dan harus rela berkorban demi kemashlahatan bangsa.
- PBNU tidak mentolerir tindak kekerasan karena selain di larang agama juga akan menghasilkan kenestapaan bagi bangsa.
- Dalam perbedaan pendapat setajam apapun, harus dicari solusi dengan semangat kebersamaan. Menghimbau media masa membantu rakyat dengan mengurangi pemberitaan pertikaian antar elit.
- Perbaiki kinerja pemerintahan lebih fokus perbaikan koordinasi, namun upaya itu akan sia-sia jika tidak ada saling bahu membahu antar lembaga.
- Mendukung pemberantasan dengan pembuktian terbalik.
Tausiyah tersebut diberikan demi menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa dan Negara
Indonesia. Wallahu A’lam (MWC
NU Widasari)
2 Komentar
Nu saat Zaman Suharto memang selalu di perhitungkan dan dibatasi geraknya, sampai-sampai setiap para kyai-kyai NU hendak ceramah ada penjagaan ketat dari abri, karena khawatir ada ucapan atau sindiran kepada pemerintah. Dan kini sdh tidak berlaku lagi, dan itu juga jasa seorang GusDur.
Khususon KH. Abdurahman Wahid Alfatihah ..