MWC NU WIDASARI

Ke-NU-an Bag. 10 || Sumber Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah



 

Cara menentukan hukum dan ajaran Ahlussunnah Waljama’ah dalam tradisi jam’iyah NU sangat bergantung pada cara mencari pemecahan masalahnya. Terdapat beberapa cara pemecahan masalah dalam tradisi NU, yaitu:

  1. Maudhu’iyah (tematik) adalah Mencari pemecahan permasalahan disesuaikan berdasarkan temanya.
  2. Qonuniyah (terapan) Hampir sama dengan cara maudhu’iyah, hanya saja Qonuniyah menggabungkan beberapa jenis keilmuan untuk memcahkan suatu permasalahan. Misalnya: ketika akan membuat sebuah peraturan daerah, pemimpin daerah mempertimbangkan kaidah fiqh, pertimbangan politik, ekonomi, dan keadaan masyarakat.
  3. Waqi’iyah (kasuistik) Cara ini digunakan untuk menghadapi masalah yang tidak kompleks (sederhana). Untuk menyelesaikannya cukup mengutip salah satu sumber hukum yang sudah ada.

Berikut ini akan dijelaskan cara mencari sumber untuk dijadikan dasar dalam memecahkan masalah yang menjadi tradisi Nahdlatul Ulama.


A. MADZAB QAULI

Pendapat atau pandangan keagamaan ulama Ahlussunnah Waljamaah dikutip (diambil) secara utuh. Seperti mengutip dari kitab “Al-Iqtishad fi al-‘itiqad” karangan Abu Hamid al-Ghazali yang menjabarkan aqidah Asy’ariyah atau Kitab “al-Umm” yang menghimpun qaul (pendapat/perkataan) Imam Syafi’i. Apabila kita ingin memperluas atau memperdalam pemahaman, pandangan agama merujuk (berdasarkan) kepada kitab syarah (penjelasan, komentar) yang disusun oleh ulama Aswaja dalam madzab yang sama. Seperti kitab “al-Majmu” karya Imam Nawawi yang mengulang pandangan fiqh Imam Syairazi dalam al-Muhazhab.

Agar terjaga keutuhan pandangan dalam sebuah madzab, kita harus menghindari pengutipan pendapat (qaul) dari kitab yang penulisnya bermazhab lain. Misalnya, kita tidak boleh mengutip pendapat Imam Malik dari kitab Fiqhu al-Sunnah karya Sayid Sabiq. Kita juga tidak boleh mengutip syarah hadits Ibnu Daqiq al-Ied berjudul Muntaqa al- Akhbar dari ulasan al-Syaukani dalam Nayl al-Awthar.

Untuk menjaga keutuhan pandangan dalam sebuah madzab, kita harus menghindari pengutipan pendapat (qaul) dari kitab yang penulisnya bermazhab lain.


B. MADZHAB MANHAJI

Dalam membahas masalah kasuistik (menggunakan cara waqi’iyah) seringkali kita perlu menyertakan dalil. Dalil sumber hukum (nash syar’i) yang digunakan dapat berupa kutipan ayat Al Qur’an atau diambil dari sunnah/hadits. Berikut langkah-langkah cara mengutip yang dianjurkan:

Pertama, kutipan ayat dari mushaf dengan rasam Utsmani lengkap petunjuk nama surah dan nomor urut ayat serta menyertakan terjemahan standar Departemen Agama RI. Kutip juga tafsir atas ayat tersebut oleh ahli tafsir yang berfaham Aswaja dari kitab tafsir yang diakui keunggulannya (mu’tabar). Keunggulan tafsir bisa ditelusuri dari sumber dan media yang digunakan untuk membantu dalam menafsirkan. Selain itu perlu diperhatikan pula cara penerapan kaidah penetapan hukum (istinbath) atas nash ungkapan Al Qur’an. Kesungguhan mufassir sebagai ulama Aswaja (Sunni) diperlukan sebagai jaminan atas mutu penafsiran dan pentakwilan.

Kedua, penukilan matan sunnah/hadits harus berasal dari kitab ushul hadits standar dengan mencantumkan nara sumber Nabi serta nama periwayat/nama mukharrij (kolektor). Penggunaan sunnah/hadits sebagai dalil hukum (hujjah syar’iyah) harus mempertimbangkan apakah sunnah/hadits dimaksud tersebut shahih, hasan, atau dha’if. Pengambilan kesimpulan mengenai isi (nash) sebuah hadits berdasarkan pada pembahasan yang disampaikan oleh ahli hadits (Muhaddisin) yang paham keagamaannya diakui sebagai Sunni.

Ketiga, pengutipan kesepakatan ulama (ijma) perlu memisahkan antara kesepakatan para sahabat Nabi SAW (ijma shahabi) yang diakui tertinggi kekuatan alasan hukumnya dan kesepakatan para ulama pemikir setelah zaman sahabat (ijma mujtahidin). Sumber pengutipan ijma sebaiknya mengacu pada kitab karya ulama yang diakui seperti Imam Nawawi dan lain-lain.

Keunggulan sebuah kitab tafsir bisa ditelusuri dari sumber dan media yang digunakan untuk membantu dalam menafsirkan serta cara menerapkan kaidahkaidah yang dibutuhkan.


C. PENGEMBANGAN ASAS IJTIHAD MADZHABI

Penerapan hukum (tathabiq al-syar’iyah) dalam proses penyusunan RUU/Raperda bisa menggunakan cara mengambil keputusan (ijtihad) yang dikenal luas oleh ulama Sunni. Misalnya” ‘Umumu al-Balwa, Qaul Shahabi, Qaul Tabi’in, Mura’atu al-Khilaf, kondisi darurat, asas ‘Uruf/ Ta’amul, ‘Amalu Ahli al-Madinah, Istihsan, Syar’u al-Dzara’i, Istihab, Mashalil Mursalah, Maqashid al-Syari’ah, Siyasay Syar’iyah dan lain-lain.

Pelaksanaan cara mengambil keputusan (ijtihad) perlu didukung kebijaksanaan dalam mengenali bobot masalahnya. Pertimbangan tersebut terutama berkaitan dengan: masalah, konteks (keterkaitan) dengan kepentingan individu atau kebijakan publik (masyarakat umum), akibatnya pada masalah keimanan (aqidah) dan semangat keagamaan (ghirah diniyah), tingkat kesulitan dalam pelaksanaan, membuka peluang pelanggaran hukum, dan resiko jangka panjang.

Pelaksanaan cara mengambil keputusan (ijtihad) perlu didukung kebijaksanaan serta pertimbangan yang matang dan menyeluruh

Oleh karena itu, kerumitan (kompleksitas) masalah di negara yang agamanya beragam (plural), perumusan hukum yang menggunakan asas ijtihad (berusaha mencari kemajuan/hal yang baru) harus dilakukan secara bersama untuk mencapai kesepatan (ijma’i) dan terjamin cara pengambilan kesimpulannya (istidlal).
Wallahu A'lam .. (MWC NU Widasari)


Posting Komentar

0 Komentar