Cara menentukan hukum dan ajaran Ahlussunnah Waljama’ah dalam tradisi jam’iyah NU sangat bergantung pada cara mencari pemecahan masalahnya. Terdapat beberapa cara pemecahan masalah dalam tradisi NU, yaitu:
- Maudhu’iyah (tematik) adalah Mencari pemecahan permasalahan disesuaikan berdasarkan temanya.
- Qonuniyah (terapan) Hampir sama dengan cara maudhu’iyah, hanya saja Qonuniyah menggabungkan beberapa jenis keilmuan untuk memcahkan suatu permasalahan. Misalnya: ketika akan membuat sebuah peraturan daerah, pemimpin daerah mempertimbangkan kaidah fiqh, pertimbangan politik, ekonomi, dan keadaan masyarakat.
- Waqi’iyah (kasuistik) Cara ini digunakan untuk menghadapi masalah yang tidak kompleks (sederhana). Untuk menyelesaikannya cukup mengutip salah satu sumber hukum yang sudah ada.
Berikut ini akan dijelaskan cara mencari sumber untuk dijadikan dasar dalam memecahkan masalah yang menjadi tradisi Nahdlatul Ulama.
Pendapat atau pandangan keagamaan ulama Ahlussunnah Waljamaah dikutip (diambil) secara
utuh. Seperti mengutip dari kitab “Al-Iqtishad fi al-‘itiqad” karangan
Abu Hamid al-Ghazali yang menjabarkan aqidah Asy’ariyah atau Kitab “al-Umm”
yang menghimpun qaul (pendapat/perkataan) Imam Syafi’i. Apabila kita ingin
memperluas atau memperdalam pemahaman, pandangan agama merujuk (berdasarkan)
kepada kitab syarah (penjelasan, komentar) yang disusun oleh ulama
Aswaja dalam madzab yang sama. Seperti kitab
“al-Majmu” karya Imam Nawawi yang mengulang pandangan fiqh Imam Syairazi dalam al-Muhazhab.
Agar terjaga keutuhan pandangan dalam sebuah madzab, kita
harus menghindari pengutipan
pendapat (qaul) dari kitab yang penulisnya bermazhab lain. Misalnya, kita tidak boleh mengutip pendapat
Imam Malik dari kitab Fiqhu
al-Sunnah karya Sayid Sabiq. Kita juga tidak boleh mengutip syarah hadits
Ibnu Daqiq al-Ied berjudul Muntaqa al- Akhbar dari ulasan al-Syaukani
dalam Nayl al-Awthar.
“Untuk menjaga keutuhan pandangan dalam sebuah madzab, kita harus menghindari pengutipan pendapat (qaul) dari kitab yang penulisnya bermazhab lain”.
Dalam membahas masalah kasuistik (menggunakan cara
waqi’iyah) seringkali kita perlu
menyertakan dalil. Dalil sumber hukum (nash syar’i) yang digunakan dapat berupa kutipan ayat Al Qur’an
atau diambil dari sunnah/hadits.
Berikut langkah-langkah cara mengutip yang
dianjurkan:
Pertama, kutipan ayat dari mushaf dengan rasam
Utsmani lengkap petunjuk nama
surah dan nomor urut ayat serta menyertakan
terjemahan standar Departemen Agama RI. Kutip juga tafsir atas ayat tersebut
oleh ahli tafsir yang berfaham Aswaja dari kitab tafsir yang diakui
keunggulannya (mu’tabar). Keunggulan tafsir bisa ditelusuri dari sumber dan media yang digunakan
untuk membantu dalam menafsirkan.
Selain itu perlu diperhatikan pula cara penerapan kaidah penetapan hukum (istinbath) atas nash ungkapan Al
Qur’an. Kesungguhan mufassir
sebagai ulama Aswaja (Sunni) diperlukan sebagai
jaminan atas mutu penafsiran dan pentakwilan.
Kedua, penukilan matan sunnah/hadits harus berasal
dari kitab ushul hadits standar
dengan mencantumkan nara sumber Nabi serta
nama periwayat/nama mukharrij (kolektor). Penggunaan
sunnah/hadits sebagai dalil hukum (hujjah syar’iyah) harus
mempertimbangkan apakah sunnah/hadits dimaksud tersebut shahih, hasan, atau
dha’if. Pengambilan kesimpulan mengenai isi (nash) sebuah hadits berdasarkan
pada pembahasan yang disampaikan oleh ahli hadits (Muhaddisin) yang
paham keagamaannya diakui sebagai Sunni.
Ketiga, pengutipan kesepakatan ulama (ijma)
perlu memisahkan antara kesepakatan para sahabat Nabi SAW (ijma shahabi)
yang diakui tertinggi kekuatan alasan hukumnya dan kesepakatan para ulama pemikir
setelah zaman sahabat (ijma mujtahidin). Sumber pengutipan ijma sebaiknya mengacu pada
kitab karya ulama yang diakui seperti Imam
Nawawi dan lain-lain.
Keunggulan sebuah kitab tafsir bisa ditelusuri dari sumber dan media yang digunakan untuk
membantu dalam menafsirkan serta
cara menerapkan kaidahkaidah yang
dibutuhkan.
Penerapan hukum (tathabiq al-syar’iyah) dalam
proses penyusunan RUU/Raperda bisa
menggunakan cara mengambil keputusan (ijtihad) yang dikenal luas oleh ulama Sunni. Misalnya” ‘Umumu
al-Balwa, Qaul Shahabi, Qaul Tabi’in, Mura’atu al-Khilaf, kondisi darurat,
asas ‘Uruf/ Ta’amul, ‘Amalu Ahli al-Madinah, Istihsan, Syar’u al-Dzara’i,
Istihab, Mashalil Mursalah, Maqashid al-Syari’ah, Siyasay Syar’iyah dan
lain-lain.
Pelaksanaan cara mengambil keputusan (ijtihad) perlu didukung kebijaksanaan dalam mengenali bobot masalahnya. Pertimbangan tersebut terutama berkaitan dengan: masalah, konteks (keterkaitan) dengan kepentingan individu atau kebijakan publik (masyarakat umum), akibatnya pada masalah keimanan (aqidah) dan semangat keagamaan (ghirah diniyah), tingkat kesulitan dalam pelaksanaan, membuka peluang pelanggaran hukum, dan resiko jangka panjang.
“Pelaksanaan cara mengambil keputusan (ijtihad) perlu didukung kebijaksanaan serta pertimbangan yang matang dan menyeluruh”
0 Komentar