Kata Romadhon termasuk Isim Ghairu
Munshorif (karena isim alam dan tambahan alif dan nun), yang apabila dalan Kondisi
i'rob Jer maka alamatnya menggunakan Fathah menjadi (Romadhona), Namun
apabila isim tersebut disandarkan kepada
lafadz setelahnya (diidlofahkan) atau kemasukan Alif-Lam (AL) maka tanda i'rob
Jernya menggunakan KASROH menjadi Romadhoni (Ni) bukan (Na).
Imam Ibnu Malik di dalam bait alfiyahnya
berkata
وَجُرَّ بِالْفَتْحَةِ مَا لاَ يَنْصَرِفْ *
Dan dijerkan dengan Fathah terhadap
isim yang tidak menerima tanwin (Isin Ghairu Munshorif),
مَا
لَمْ يُضَفْ أَوْ يَكُ بَعْدَ أَلْ رَدِف
selama tidak dimudhofkan atau berada setelah AL
yang mengiringinya.
Jadi redaksi niat puasa Romadhon yang benar
adalah sebagai berikut :
نَوَيْتُ
صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ فرضا لِلّه
تَعَالَى
NAWAITU SHOUMA GHODIN 'AN ADAA-I FARDHI
SYAHRI ROMADHOONI HADHIHIS-SANATI LILLAAHI TA’ALA.
Yang apabila diterjemahkan adalah :
“aku niat puasa besok untuk melaksanakan
kewajiban bulan Romadhon dari tahun ini, karena Allah ta'ala”.
Nah, dalam redaksi niat di atas, apabila
lafadz Romadhon dibaca Fathah (Romadhona) bukan (Ni) dengan tidak
mengidlofahkan kepada lafadz setelahnya yaitu lafadz (Hadzihis sanati) Maka
lafadz (Hadzihis sanati) secara ilmu nahwu (gramatika bahasa arab) seharusnya
menjadi Dhorof, yang harus dibaca Hadzihis sanata (TA) bukan (TI), karena
status i’robnya adalah Nashob, sehingga redaksi niatnya menjadi sebagai berikut
:
نَوَيْتُ
صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ فرضا لِلّه
تَعَالَى
nawaitu shouma ghodin 'an adaa-i: fardhi
syahri romadhoona hadhihis-sanata fardlon lillaahi ta’ala.
Maka jika redaksinya sebagaimana di atas
ini, secara bahasa arab terjadi perubahan makna, menjadi sebagai berikut :
“Aku niat puasa besok, untuk melaksanakan
kewajiban bulan Romadhon, selama setahun ini”.
Kenapa begitu ?
Karena lafadz Hadzihis Sanata status
sebagai Dhorof yang menunjukkan waktu dilaksanakannya suatu pekerjaan yang
dalam hal ini pekerjaannya adalah niat atau puasa, padahal niat hanya
membutuhkan waktu beberapa detik, demikian halnya puasa hanya butuh beberapa
jam tidak sampai satu tahun. Sehingga apa bila niat puasa memggunakan redaksi
sebagaimana di atas Romadhona (NA) dan Hadzihis Sanata (TA), maka
redaksi yang salah.
Oleh karena itulah redaksi niat yang
benar adalah sebagaimana yang pertama di atas yaitu :
نَوَيْتُ
صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ فرضا لِلّه
تَعَالَى
Di dalam Kitab I’anatu at-Tholibin, juz
2/253, dijelaskan sebagai berikut :
يُقْرَأُ
رَمَضَانِ بِالْجَرِّ بِالْكَسْرَةِ لِكَوْنِهِ مُضَافًا إِلَى مَا بَعْدَهُ
وَهُوَ إِسْمُ اْلإِشَارَة
Romadhoni (ni) dibaca jer dengan Kasroh
karena statusnya menjadi Mudlof kepada kalimat setelahnya yaitu isim isyaroh.
Kitab I'anah Thalibin
(قوله: نويت
إلـخ) خبر عن أكملها: أي أكملها هذا اللفظ. (قوله: صوم غد) هو الـيوم الذي يـلـي
اللـيـلة التـي نوى فـيها. (قوله: عن أداء فرض رمضان) قال فـي النهاية: يغنـي عن
ذكر الأداء أن يقول عن هذا الرمضان. اهــــ. (قوله: بـالـجرّ لإِضافته لـما بعده)
أي يقرأ رمضان بـالـجرّ بـالكسرة، لكونه مضافاً إلـى ما بعده، وهو اسم الإِشارة.
قال فـي التـحفة: واحتـيج لإِضافة رمضان إلـى ما بعده لأن قطعه عنها يصير هذه
السنة مـحتـملاً لكونه ظرفاً لنويت، فلا يبقـى له معنى، فتأمله، فإنه مـما يخفـى.
اهــــ. ووجهه: أن النـية زمنها يسير، فلا معنى لـجعل هذه السنة ظرفاً لها. (قوله:
هذه السنة) .(إن قلت) : إن ذكر الأداء يغنـي عنه. (قلت) لا يغنـي، لأن الأداء يطلق
علـى مطلق الفعل، فـيصدق بصوم غير هذه السنة. وعبـارة النهاية: واحتـيج لذكره ــــ
أي الأداء ــــ مع هذه السنة، وإن اتـحد مـحترزهما، إذ فرض غير هذه السنة لا يكون
إلا قضاء، لأن لفظ الأداء يطلق ويراد به الفعل. اهــــ.وفـي البرماوي: ويسن أن
يزيد: إيـماناً واحتساباً لوجه الله الكريـم عزّ وجلّ. اهــــ.
Romadhoni dibaca jer dengan tanda kasroh, karena
dimudhofkan pada lafadz setelahnya yaitu isim isyaroh (Hadzihi).
Keterangan :
Isim ghoiru munsharif itu tidak ditanwin
dan tidak dikasroh karena punya illat yang menyebabkan sifat keisimannya lemah,
Lebih cenderung mirip fi'il. Namun ketika dimudhofkan maka sifat keisimannya
menjadi kuat, sehingga tanda jer nya kembali memakai kasroh.-
Dalam Kitab Kasyifatussaja hlm 7, dijelaskan
bahwa secara redaksi ada juga pendapat sebagian kecil ulama' yang mengatakan
bahwa kalau lafadz Romadhon dibaca kasroh (Romadhoni) maka lafadz
hadzihis sanah juga dibaca kasroh (Hadzihis Sanati), jika di baca fathah
(Romadhona) maka lafad setelah juga dibaca fathah (Hadzihis Sanata),
setatusnya tidak sebagai Dhorof tapi dibaca Nashob karena terjadi Qot'u atau
pemutusan dari lafadz sebelumnya, dan menurut pendapat ini jika lafadz Romadhon
di idlofahkan kepada lafadz setelahnya itu sangat menjanggalkan karena ‘ALAM
tidak bisa diidlofahkan.
(تنبـيه)
(قَوْلُهُ : بِإِضَافَةِ رَمَضَانَ) أَيْ لِمَا بَعْدَهُ فَنُونُهُ مَكْسُورَةٌ ؛
لِأَنَّهُ مَخْفُوضٌ وَإِنَّمَا اُحْتِيجَ لِإِضَافَتِهِ إلَى مَا بَعْدَهُ ؛
لِأَنَّ قَطْعَهُ عَنْهَا يُصَيِّرُ هَذِهِ السَّنَةَ مُحْتَمَلًا لِكَوْنِهِ
ظَرْفًا لِقَوْلِهِ : أَنْ يَنْوِيَ وَلَا مَعْنَى لَهُ ؛ لِأَنَّ النِّيَّةَ
زَمَنُهَا يَسِيرٌ ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ : إنْ جَرَرْت رَمَضَانَ بِالْكَسْرِ جَرَرْت
السَّنَةَ وَإِنْ جَرَرْته بِالْفَتْحِ نَصَبْت السَّنَةَ وَحِينَئِذٍ فَنَصْبُهَا
عَلَى الْقَطْعِ ، وَعَلَيْهِ فَفِي إضَافَةِ رَمَضَانَ إلَى مَا بَعْدَهُ نَظَرٌ
؛ لِأَنَّ الْعَلَمَ لَا يُضَافُ فَلْيُتَأَمَّلْ ا هـ
Yang lebih salah lagi adalah redaksi niat
yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu :
نَوَيْتُ
صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ لِلّه تَعَالَى
Pada lafadz Romadhon dibaca Romadhona (NA) sementara pada lafadz Hadzihis sanah dibaca Hadzihis Sanati (TI), ini
secara ilmu gramatika bahasa arab tidak ada jalurnya.
Lalu bagaimana dengan hukum puasanya jika
redaksi niatnya salah ?
Puasanya tetap sah SAH walaupun terjadi
kesalahan dalam membaca harokat di dalamnya, selama yang dikehendaki dengan Hadzihis Sanati adalah bulan Romadlon tahun ini.
Karena letak niat itu di dalam hati,
sebagaimana shalat dhuhur dengan mengucapkan redaksi niat shalat ashar akan
tetapi niatnya dalam hati adalah shalat dhuhur maka juga SAH sebagai shalat
dhuhur.
Namun apabila niat diucapkan apalagi bersama-sama, maka hendaknya tidak salah dalam i’robnya. Wallahu A’lam.
Itulah pengalaman kami ketika dalam kegiatan rutin menemukan beberapa pertanyaan dari masyarakat, semoga jawabannya bisa bermanfaat. bila ada kesalahan dalam jawaban kami silahkan tulis di kolom komentar, karena semakin banyak pendapat akan lebih bisa bermanfaat bila diamalkan oleh pembaca. (MWC
NU Widasari)
0 Komentar