Sebagai contoh tawar menawar
yang dilakukan oleh para muballigh adalah untuk tidak menghilangkan
tradisi yang ada. Maksudnya, para muballigh sadar bahwa kebudayaan
seperti sesaji, selamatan, dan sebagainya adalah bagian dari
masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Menolak tradisi ini
berarti menutup celah mereka untuk tertarik kepada ajaran
agama Islam. Sebab yang namanya tradisi itu tidak mudah untuk dihapus. Oleh
karena itu, para muballigh memiliki jalan tengah. Upacara-upacara ritual
seperti selamatan itu masih tetap dilakukan. Akan tetapi, ruhnya
diganti dari ruh animisme, dinamisme, Hindu dan Buda menjadi ruh
Islam. Nasi yang biasa digunakan untuk sesaji diberikan kepada masyarakat
sebagai perwujudan dari shadaqah yang kemudian dikenal dengan istilah
sedekah. Mantra-mantra yang dahulu digunakan untuk mendoakan orang yang
sudah meninggal diganti oleh para ulama dengan doa-doa yang berasal
dari Al-Qur’an dan Hadits. Ziarah kubur untuk meminta berkah
kepada roh penghuni kubur pada masa pra Islam diganti dengan ziarah
kubur untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. Demikianlah
gambaran ringkas kehidupan sosial beragama di masyarakat pada
zaman dahulu.
Demikianlah pola kehidupan yang
melatarbelakangi berdirinya jam’iyah Nahdhatul Ulama. Juga peran
Nahdlatul Ulama dalam mempertahankan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Para
mubaligh sadar, kebudayaan seperti selamatan, sesaji adalah
bagian dari tradisi masyarakat Indonesia yang susah untuk dirubah.
Untuk itu kemudia para mubaligh memasukkan
nilai-nilai islami dalam tradisi-tradisi tersebut.
Pilar pendiri NU adalah KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah. KH Hasyim Asy’ari adalah sumber legitimasi dalam pendirian organisasi ini dan sekaligus Rais Akbar pertama. Sedangkan KH Wahab adalah inspirator, motor penggerak, dan fasilitator pendirian organisasi ini. Dua tokoh tersebut menjadi semakin kuat mana kala para kiai lain yang ternama ikut bergabung untuk bertemu di rumah Kiai Wahab di Kertopaten, Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 dan bersepakat mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Para kiai yang menjadi pendiri Nahdlatul Ulama adalah sebagai berikut:
2. K.H. Abdul Wahab Hashbullah Surabaya
3. K.H. Bisri Syamsuri Jombang
4. K.H. Raden Haji Asnawi Kudus
5. K.H. Ma`sum Lasem
6. K.H. Ridwan Semarang
7. K.H. Nawawi Pasuruan
8. K.H. Nahrowi Malang
9. K.H. Ridwan Surabaya
10. K.H. Alwi Abdul Aziz Malang
11. KH. Abdullah Ubaid Surabaya
12. K.H. Abdul Halim Leuwimunding Majalengka
13. K.H. Doro Munthaha Madura
14. K.H. Dahlan `Abdulqahar Kertosono
15. K.H. Abdullah Faqih Maskumambang Gresik
KH. Hasyim Asy’ari lahir di desa
Gedeng, kira-kira 2 km kira-kira sebelah utara kota Jombang Jawa
Timur pada tanggal 24 Dzulhijjah 1287 H atau 14 Pebruari 1871 M
Ayahnya bernama KH Asy’ari dari Demak yang masih keturunan dari
trah Majapahit sementara ibunya, Halimah bin K. Utsman
berasal dari desa setempat.
Sislilah keturunan beliau
berasal dari Raja Brawijaya VI yang juga dikenal dengan nama
Lembu Peteng. Salah seorang dari keturunan Lembu Peteng yang
dikenal dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebet adalah salah satu
kakeknya. Jaka Tingkir menjadi raja Pajang dengan gelar Sultan
Hadiwijaya dan menurunkan putra Pangeran Benowo. Pangeran Benowo
memiliki anak bernama Muhammad alias Pangeran Sambo.
Pangeran Sambo menurunkan Kiai
Sikhah di Nggedang, Jombang. Kiai Sikhah adalah cicit Pangeran
Sambo. Putri Kiai Sikhah yang bernama Layinah dinikahkan dengan
santrinya sendiri yang bernama Utsman, asal Jepara. Pasangan antara
Utsman dan Layinah memiliki putri bernama Halimah alias Winih.
Halimah dinikahkan dengan Asy’ari, salah seorang santri Kiai Utsman. Ketika
masih kecil (umur 6-12 tahun beliau belajar di beberapa pesantren, yaitu Pondok
Wonoboyo, Probolinggo, kemudian ke Pondok Langitan, Trenggalis, dan Bangkalan
Madura. Pada usia 15 tahun beliau menjadi santri di Siwalan Sidoarjo yang diasuh
oleh Kiai Ya’kub. Hasyim dikenal sebagai santri yang tekun, cerdas,
dan shaleh. Ketekunan dan bakatnya membuat kiai Ya’kub kagum dan
berminat untuk menjodohkannya dengan putri beliau. Perjodohan ini
terlaksana ketika Hasyim berusia 21 tahun. Kemudian Hasyim dan
istrinya diajak pergi untuk menunaikkan ibadah haji ke tanah suci.
Sesudah menunaikan haji, Hasyim
diperintahkan untuk menetap di Makkah guna memperdalam ilmu
pengetahuan. Beliau memperdalam fiqih madzhab Syafi’i dan kumpulan hadits
Bukhari-Muslim. Tidak lama setelah melahirkan putra pertamanya,
istrinya dan sekaligus putranya yang bernama Abdullah wafat.
Pada tahun 1900 Hasyim pulang ke
Indonesia dan kembali lagi ke tanah suci. dan menetap selama 7
tahun untuk mendalami ajaran agama Islam. Waktu yang demikian lama
beliau manfaatkan sebaikbaiknya untuk menimba ilmu. Beliau berguru
kepada Syeikh Mahfuzh At-Tarmasi (berasal dari Termas, Jawa Timur yang mengajar
di Makkah), kemudian kepada Syekh Khatib Al-Mingkabaui. Ulama lain yang
berguru kepada Syaikh Khathib adalah KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Sansuri, dan
KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).
Pada tahun 1906 Hasyim
mendirikan pondok pesantren Tebuireng dengan jumlah santri
28 orang. Berkat ketekunannya maka pondok pesantren berkembang
pesat, apalagi dengan bantuan dari Muhammad Ilyas, anak angkat
KH Hasyim.
KH.
hasyim asy’ari adalah pendiri dari organisasi Nahdlatul Ulama. Beliau
diberi gelar hadratusy syaikh.
Pada masa penjajahan Belanda KH
Hasyim pernah menolak bintang jasa yang terbuat dari emas yang akan
dianugrahkan kepadanya pada tahun 1937. Beliau juga memfatwakan
haram melaksanakan ibadah haji dengan kapal-kapal milik Belanda
pada masa revolusi. Pada masa pendudukan Jepang beliau dijebloskan
di penjara selama berbulanbulan lalu diasingkan ke Mojokerto.
Pada tahun 1926 bersama KH Wahab
Hasbullah, Kiai Bisri Sansuri dan beberapa Kiai lainnya beliau
mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama sebagai wadah aspirasi kalangan
Islam tradisionalis yang
terpinggirkan oleh kalangan Islam modernis
dalam Konggres Al- Islam di Bandung.
Pada tahun 1945 beliau
mengeluarkan Resolusi Jihad, dan dari peristiwa inilah peran para santri dan
pejuang kemerdekaan tergerak secara sukarela untuk melawan
Sekutu (NICA) yang ingin mendarat di Surabaya yang kemudian
dikenal dengan pertempuran 10 November dan diperingati sebagai
hari pahlawan. Beliau pula yang merumuskan doktrin ajaran Ahlussunnah
wal Jama’ah Annahdliyyah. Di
antara putra-putra beliau adalah Abdul Wahid Hasyim (Menteri Agama)
dan Yusuf Hasyim. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) cucu beliau dari
KH Abdul Wahid Hasyim pernah menjadi presiden Republik Indinesia.
Pada tahun 1947 beliau meninggal dunia. Beliau dimakamkan di pemakaman keluarga di Tebuireng. Selain sebagai seorang Kyai banyak jasa-jasa beliau yakni :
2. Tokoh pemersatu Umat Islam
3. Pembaharu sistem Pondok dan Madrasah.
4. Ketua tim tanda gambar NU.
KH Abdul Wahab Hasbullah Lahir
di Tambak Beras, Jombang Jawa Timur pada bulan Maret 1888. ayahnya bernama
Hasbullah dan ibunya bernama Fatimah binti K. Sichah, paman K Haji Hasyim
Asy’ari. Keluarga Hasbullah adalah pengasuh pondok pesantren Tambak Beras
dan masih memiliki hubungan dengan KH Hasyim Asy’ari.
Sejak kecil dididik ayahnya
membaca Al-Qur’an, Fikih, Tauhid, Tasawuf, dan Bahasa Arab. Pada usia 13
tahun mondok di Langitan, Tuban selama 4 tahun kemudian ke pesantren Cempaka
selama setengah tahun, di Tawangsari selama 3 tahun, dan belajar kepada Kiai
Khalil Bangkalan Madura selama satu tahun, di Tebuireng selama empat tahun dan
di Makkah selama 5 tahun kepada KH Mahfuz At- Tarmasi dan Syekh Al-Yamani. Di
Makkah beliau mendapatkan nilai istimewa dari para gurunya.
Sepeninggal istri pertamanya
setelah wafat saat menunaikan ibadah haji pada tahun 1921 Kiai Wahab menikah
lagi dengan Alawiyah putri Kiai Alwi. Istri keduapun meninggal setelah
dikaruniai anak. Sesudah itu Kiai Wahab pernah menikah tiga kali namun tidak berlangsung
lama dan tidak dikaruniai putra. Kemudian menikah lagi dengan
Asnah, putri Kiai Said dari Surabaya dan dikaruniai empat orang
anak. Salah satu dari putranya adalah KH Wahib Wahab yang pernah
menjadi Menteri Agama. Setelah Asnah meninggal, KH Wahab menikah
dengan Fatimah tetapi tidak dikaruniai seorang putra. Namun Fatimah
membawa seorang anak yang bernama KH Syaikhu. Setelah itu
beliau menikah kembali dengan Masnah dan memperoleh seorang putra.
Kemudian beliau menikah lagi
dengan Ashlikhah, putri Kiai Abdul Majid Bangil dan memperoleh empat
orang putra. Terakhir, Kiai Wahab memperistri Sa’diyah (kakak Aslikhah setelah
Aslikhah meninggal dan mempunyai lima orang putra sampai akhir hayatnya pada
tahun 1971.
Beliau berhasil membentuk
berbagai organisai masa. Pada tahun 1914 beliau mendirikan kelompok
diskusi Tashwirul Afkar. Pada tahun 1916 beliau mendirikan madrasah
Nahdlatul Wathan. Keduanya didirkan bersama Kiai Mas Manshur. Di
kalangan pemuda beliau
mendirikan Syubanul Wathan. Ia juga
berhubungan dengan tokoh-tokoh nasional lain
seperti Soetomo dalam Islamic Studies Club yang didirikan
bersama kaum terpelajar.
Peranan yang terbesar adalah
saat menjelang pendirian NU pada tanggal 31 Januari 1926 ia mengajak
para ulama dan komite Hijaz untuk bermusyawarah bersama. Perteuan
ini akhirnya menorehkan sejarah berdirinya Jam’iyyah Nadlatul Ulama yang
mempertahankan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Nama Nahdlatul Ulama sendiri adalah usulan dari Kiai Alwi Abdul Aziz dari Surabaya. Sementara pencipta lambangnya adalah Kiai Ridlwan dari Surabaya. Selanjutnya KH Wahab sebagai Katib ‘Am di NU dan KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar. Jasa-jasa KH Abdul Wahhab diantaranya adalah:
2. Pahlawan Kemerdekaan
3. Anggota DPA bersama Ki Hajar Dewantoro
4. Pendiri Taswirul Afkar
5. Pendiri Nahdlatul Waton
6. Ketua team Komite Hijaz
7. Pencetus badan Syuriyah dan Tanfidziyah
Masih banyak jasa beliau yang
lain baik yang berhubungan dengan organisasi politik negara, maupun
agama, terutama keseriusan beliau dalam mengembangkan agama Islam
Ahlussunnah wal Jama’ah. Abdul Wahab Hasbullah meninggal dunia jam 10.00 hari
Rabu tanggal 12 Dzulqa’idah 1391 atau tanggal 29 Desember 1971 M.
KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah salah satu
pendiri NU yang sangat aktif dalam memperjuangkan
nilai-nilai ahlussunnah waljama’ah an-nahdliyyah.
Kiai Haji Abdul Wahid Hasyim
adalah putra dari pasangan KH Hasyim Asy’ari-Nafiqoh lahir pada hari Jum’at
Legi tanggal 5 Rabi’ul Awwal1333 H atai 1 Juni 1914. Sejak kecil sudah
dididik agama oleh ayahnya sendiri, yaitu diajari ilmu-ilmu agama setiap
selesai shalat Maghrib dan shalat zhuhur. Pada saat usia sekolah, beliau masuk
madrasah salafiyah. Tebuireng. Setelah berumur 13 tahun belajar di
Pondok Siwalan Sidoharjo dan Pondok Lirboyo Kediri. Sedangkan
kemahiran membaca dan menulis latin, bahkan penguasaan pengetahuan
umum lainnya diperoleh dengan cara belajar sendiri.
Pada tahun 1932 beliau naik
haji, kemudian meneruskan mempelajari ilmu agama di kota
Makkah. Sepulang dari tanah air beliau mendirikan madrasah
sekaligus menjadi guru di tempat baru tersebut.
Pada tahun 1938 beliau mulai aktif di organisasi NU sebagai pengurus ranting di desanya. Tidak lama kemudian diangkat menjadi pengurus Cabang di Jombang dan kemudian sebagai pengurus besar NU di Surabaya. Dalam setiap kegiatan beliau selalu mendapat dukungan dari istrinya yang bernama Sholehah binti Bisri Sansuri. Dari perkawinannya inilah lahir Abdurrahman Ad-Dakhil atau yang lebih dikenal dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketua PBNU periode 1984-1989 dan 1989-1994. Jasa-jasa beliau adalah:
2. Anggota BPUPKI
3. Anggota PPKI
4. Ikut menandatangani Piagam Jakarta
5. Menteri Negara tahun 1945
6. Menteri Agama Masa Bakti 1949-1953
7. Memprakarsai berdirinya IAIN
Pesan yang sering beliau
sampaikan adalah “Giatkan pendidikan bagi tunas muda NU karena tanpa
pendidikan, NU akan kehilangan generasi penerus.” Beliau wafat pada
hari Ahad tanggal 4 Sya’ban 1370 H atau 15 April 1953.
Beliau lahir di Tayu Wetan
kabupaten Pati pada tanggal 28 Dzulhijjah 1304 H atau pada tanggal 18
September 1886. pada usia 9 tahun beliau sudah pandai dan fasih
membaca Al-Qur’an. Beliau pernah belajar agama di Pondok Kajen, Margoyoso, terutama
belajar kitab kuning sampai berumur 19 tahun.
Setelah itu melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang untuk mendalami Al-Qur’an. Al-Hadits, Balaghah, dan Nahwu selama kurang lebih empat tahun. Menjelang usia 23 tahun beliau pergi ke Makkah untuk belajar agama Islam pada sumber pertamanya selama empat tahun. Jasa-jasanya adalah:
Selaku organisasi sosial
keagamaan NU sejak dahulu sampai sekarang dan sampai kapanpun akan
senantiasa berjuang demi
kepentingan umat. Dalam perjuangannya NU masuk
ke dalam berbagai segi, di antaranya adalah melalui politik kebangsaan,
pemberdayaan ekonomi, dan peningkatan sumber daya manusia. Adapun
penjelasan lebih lanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Politik Kebangsaan
Sejak kedatangan penjajah,
(Portugis dan Belanda) bangsa Indonesia selalu menyambutnya dengan
perlawanan dan peperangan. Peperangan tersebut di pelopori oleh
para ulama dengan barisan santrinya. Para ulama menanamkan rasa
cinta tanah air dengan
ungkapan Hubbul wathan minal iman (Cinta
tanah air itu adalah bagian dari iman).
Untuk memperkuat kebencian kepada para penjajah, maka para ulama saat itu melarang keras umat untuk meniru pola hidup para penjajah. Bukan hanya dari aspek keyakinan dan agama saja, bahkan sampai pada taraf berpakaian sekalipun. Hingga para ulama pada saat itu memfatwakan bahwa memakai dasi, memakai jas, dan celana panjang itu haram. Mereka mengutip sebuah hadits dari Rasulullah: Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan kaum itu.
Berdasarkan prinsip tersebut
para ulama memilih mendirikian pesantren sebagai basis perjuangan
melawan kolonial di tempat-tempat yang jauh dari pengaruh kolonial
Belanda. Dan pondok pesantren bisa menjadi tempat menanamkan jiwa
patriotisme dan nasionalisme disamping menyalakan semangat berjihad
di dada para santri.
Pada awal abad XX adalah awal
adanya satu kesadaran bahwa penjajah tidak mungkin dikalahkan
dengan tekat yang membara. Oleh karena itu perlu adanya manajemen
dalam perjuangan sehingga kemudian muncul berbagai
organisasi-organisasi dalam berbagai bidang baik bidang pendidikan,
kebudayaan, ekonomi, sosial, politik, maupun budaya.
Di kalangan pesantren, hasrat
untuk mendirikan organisasi tumbuh sejak KH Wahab Hasbullah pulang dari
menuntut ilmu di Makkah.
Pada tahun 1914 beliau membentuk sebuah majlis
disukusi yang diberi nama Tashwirul Afkar. Forum ini menjadi
sarana mendiskusikan berbagai aspek kehidupan baik yang bersifat keagamaan
maupun masalah-masalah politik perjuangan melawan penjajah, Untuk memberdayakan
umat, maka Tashwirul Afkar mendirikan kelompok kerja yang diberinama Nahdhatul
Wathan (Kebangkitan tanah air) dengan program utama di bidang pendidikan
dan pelatihan kader-kader muda untuk kegiatan dakwah. Dari kelompok ini
lahirlah Jam’iyah Nasihin dan
madrasah Khithabul Wathan (Mimbar Tanah Air) di
Pacarkeling Surabaya. Menyusul kemudian madrasah Ahlul Wathan (Keluarga tanah air) di Wonokromo, Far’ul Wathan (Cabang Tanah
Air) di Gresik dan Malang, dan Hidayatul Wathan (Pemandu
Tanah Air) di Jombang dan Jagalan Surabaya.
Dilihat dari segi nama-nama yang
lahir dalam forum diskusi Tashwirul Afkar yang semuanya memakai predikat wathan yang berarti tanah
air, maka jelaslah bahwa semangat nasionalisme merupakan api
yang mewarnai pemikiran para ulama pesantren dalam mengikuti perkembangan
dan pergerakan Nasional Indonesia. Karena aktifitasaktifitas yang dilakukan Tashwirul
Afkar merupakan embrio bagi berdirinya Nahdlatul Ulama, maka dapat difahami
bahwa kelahiran Nahdlatul Ulama juga didorong oleh semangat membela tanah air.
Membela tanah air berarti membela tuntutan rakyat untuk merdeka dan melawan segala bentuk penjajahan”.
2. Pemberdayaan Ekonomi
Kepedulian para ulama NU tidak saja dalam masalah-masalah agama saja. Akan tetapi, juga masalah-masalah lain, termasuk di dalamnya masalah ekonomi. Pada tahun 1918 Nahdlatul Ulama mendirikan perkumpulan ‘Inan Murabathah Nahdlatut Tujar. Motifasimotifasi untuk mendirikan perkumpulan tersebut adalah sebagai berikut:
- Banyak pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah bahkan sebagian ulama pada waktu itu memaksakan dirinya untuk bertawakal total tapa berikhtiar untuk peningkatan kualitas hidupnya (orang-orang kaya).
- Banyak ulama dan aghniya’ (orang kaya) Ahlussunnah wal Jama’ah yang tidak memperdulikan tetangganya yang lemah agamanya terutama di kalangan yang lemah pendidikan ekonominya.
- Sebagian besar santri dan kiai hanya mencukupkan pergumulannya terhadap aktifitas tafaquh fiddin dalam batas tertentu dan tidak menghiraukan ilmu-ilmu lain sehingga ada kesenjagan antara ulamauddin dengan cendekiawan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Tujuan pembentukan perkumpulan
tersebut adalah untuk menggugah semangat keikhlasan, persaudaraan, kebersamaan,
dan kepedulian seluruh pengikut Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dalam memabangun
kehidupan yang bermanfaat dan bermashlahah, terutama dalam bidang perekonomian.
Dalam waktu relatif singkat, syirkah tersebut memiliki banyak
anggota dengan iuran wajib setiap anggotanya 25 golden. Prioritas
pembangunan pada saat itu diutamakan pada sektor pertanian.
Demikianlah kepedulian ulama dan
pesantren sehingga kehadiran ulama dan pesantren bukan saja bermanfaat dalam
bidang agama saja, namun juga bisa memberi kemanfaatan yang umum bagi umat Islam.
3. Peningkatan Suber Daya
Manusia (SDM)
Pondok pesantren sebagai basis
NU dalam menggembleng para santri untuk memperdalam ilmu agama
(tafaqquh fid din) tidak hanya berorientasi agar santri menjadi orang
yang shaleh namun juga
berusaha untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia.
Langkah pertama yang dilakukan
oleh pondok pesantren adalah dengan mendirikan madrasah. Dengan
demikian, di Pesantren tidak hanya dipelajari ilmu-ilmu agama
seperti aqidah, akhlak, fiqih, sirah, dan sejenisnya.
Namun di sana juga dipelajari ilmu-ilmu umum seperti matematika,
biologi, fisika, geografi, dan sebagainya.
Lebih jauh dari itu, pada saat
ini pondok pesantren bukan hanya mendirikan madrasah, namun juga
mendirikan sekolah-sekolah baik umum maupun kejuruan, bahkan
mendirikan perguruan tinggi. Pendidikan yang dikembangkan di
pesantren juga bukan hanya pendidikan formal namun juga
pendidikan non formal. Ada banyak kursus dan pelatihan yang
diselenggarakan oleh pesantren. Ada kursus bahasa asing seperti Bahasa Inggiris,
Perancis, Jerman, dan sebagainya. Ada pula kursus-kursus ketrampilan seperti
ketrampilan menjahit, membordir, servis elektronik, dan sebagainya. Ada
pula pelatihan-pelatihan seperti pelatihan pidato dengan bahasa
Asing, jurnalistik, dan masih banyak lagi.
“Dalam perjuangannya NU masuk ke dalam berbagai segi, di antaranya adalah melalui politik kebangsaan, pemberdayaan ekonomi, dan peningkatan sumber daya manusia.
Dengan bekal yang diberikan oleh
pesantren kepada para santri, diharapkan saat mereka meninggalkan
pondok pesantren mereka tidak lagi bingung untuk mencari pekerjaan,
namun justri bisa menciptakan lapangan pekerjaan sehingga bisa tidak
tergantung kepada orang lain bahkan bisa memberi manfaat kepada
orang lain.
Wallahu A’lam .. (MWC NU Widasari)
0 Komentar