A. PENGERTIAN KHITTAH NU
Kita sering mendengar kata khittah. Apakah sebenarnya
pengertian dari kata tersebut? khittah adalah garis-garis yang diikuti, garis
yang biasa ditempuh, atau garis yang selalu
ditempuh.
Kalau kata khittah dirangkaikan dengan Nahdlatul Ulama (NU) maka pengertiannya seperti yang dijelaskan dalam naskah khittah NU sebagai berikut:
- Khittah Nahdlatul Ulama adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga Nahdlatul Ulama’ yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.
- Landasan tersebut adalah faham Islam Ahlussunnah Waljama’ah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan.
- Khittah Nahdlatul Ulama juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmadnya dari masa ke masa.
Dari pengertian khittah tersebut dapat dipahami bahwa
seluruh pikiran, sikap, dan
tindakan warga NU harus berlandaskan khittah NU baik secara perorangan maupun organisasi. Setiap kali mengambil keputusan, maka proses, prosedur, dan
hasil keputusan itu harus sesuai dengan
khittah NU.
Karena khittah berlandaskan faham Islam Ahlussunnah
Waljama’ah, segala keputusan dalam
NU harus ditempuh melalui cara-cara yang sesuai
dengan norma-norma Ahlussunnah Waljama’ah. Normanorma tersebut antara lain melalui jalur musyawarah dengan mempertimbangkan semua kepentingan
secara seimbang. Dasar yang diajukan
menggunakan dalil-dalil dan kaidah-kaidah keagamaan. Jangan sampai hanya mengikuti kehendak nafsu (emosi) atau kepentingan sesaat serta mengabaikan
pertimbangan yang wajar. Selain
itu, sebaiknya juga sesuai pada tempatnya (wadl’u syai-in fi mahallihi).
Sesungguhnya intisari (cikal bakal) khittah Nahdlatul
Ulama (NU) sudah ada dan dimiliki
oleh para ulama pendiri, pelopor, dan para
pendukungnya. Bahkan, jauh berabad-abad sebelum NU didirikan. Intisari
itu adalah faham Ahlussunnah Waljama’ah, berhaluan salah satu madzhab empat
yang kemudian dikembangkan dalam praktek dengan memperhatikan serta
memperhitungkan kenyataan dan kondisi masyarakat di Nusantara ini.
Dalam perkembangannya, perumusan khittah terasa perlu untuk dituliskan. Sejak adanya zaman partai, pedoman untuk perjuangan sangat mendesak untuk diperlukan. Namun, usaha perumusan itu mengalami beberapa hambatan antara lain:
- Khittah Nahdliyyah itu sendiri memang lebih mudah diwarisi dan dihayati dengan meneladani sikap, tingkah laku, amaliyah.
- Kurangnya kebiasaan tulis menulis di kalangan Nahdlatul Ulama pada waktu itu.
- Kesibukan yang bersifat spontan lebih mendapat perhatian daripada kegiatan yang kreatif, mencari, dan mengembangkan gagasan-gagasan serta ide baru.
Namun, betapapun sulitnya merumuskan khittah NU, perumusan harus dilakukan karena hal itu sangat
diperlukan. Pada tahun 1979
menjelang diselenggarakannya Muktamar di Semarang,
Kiai Ahmad Siddiq mulai merumuskan khittah dengan menulis sebuah buku yang berjudul Khittah Nahdliyyah. Cetakan kedua dari buku tersebut terbit pada
tahun 1980 dan merupakan buku cikal
bakal rumusan khittah.
Buku kecil tersebut mendapat sambutan yang baik dari
generasi muda NU. Mereka kemudian
menyelenggarakan pertemuan pada
tahun 1982. Dari pertemuan tersebut, terbentuklah Tim 7 yang berhasil merumuskan dokumen “NU menatap Masa Depan”. Pada tahun 1983 diselenggarakan
Musyawarah Alim Ulama NU di Situbondo.
Dilanjutkan dengan Muktamar NU ke-27 tahun 1984 juga di Situbondo yang berhasil menetapkan rumusan (naskah) Khittah Nahdlatul Ulama.
Di dalam rumusan (naskah) Khittah NU itu dimasukkan
beberapa hal yang tampak “baru”,
seperti wawasan NU tentang Negara Republik
Indonesia dan Pancasila. Beberapa hal tadi belum ada pada zaman awal-awal Nahdlatul Ulama. Khittah NU
selain bersumber pada Islam Ahlussunnah Waljama’ah juga digali dari intisari
perjalanan sejarah khidmahnya NU dari masa ke masa.
“Pada tahun 1979 menjelang diselenggarakannya Muktamar di Semarang, Kiai Ahmad Siddiq mulai merumuskan khittah dengan menulis sebuah buku yang berjudul Khittah Nahdliyyah”
Khittah NU 1926 adalah landasan berfikir, bersikap, dan
bertingkah laku warga Nahdlatul
Ulama. Landasan tersebut dapat diambil dengan mengambil intisari dari cita-cita dasar didirikannya NU.
Nahdlatul Ulama (NU) didirikan
sebagai wadah berkhidmat yang semata-mata
dilandasi niat beribadah kepada Allah.
NU lahir sebagai organisasi keagamaan untuk menegakkan
kehidupan beragama yang
berlandaskan paham Ahlusunnah Waljamaah. Hal itu merupakan bukti kepekaannya
terhadap perkembangan. Ketika kaum pembaharuan menyerang kehidupan keagamaan
yang tradisional, NU berdiri sebagai pembela dan membenahi kehidupan keagamaan berdasarkan
paham Ahlusunnah Waljamaah. Dengan menyatakan diri sebagai pengemban tradisi
(Ahlusunnah Waljamaah), NU juga membela kehidupan keagamaan sebagaimana yang
telah dihayati oleh umat Islam di Indonesia. Umat Islam yang telah menyerap
berbagai tradisi keagamaan yang
telah ada sebelumnya.
“NU lahir sebagai organisasi keagamaan untuk menegakkan kehidupan beragama yang berlandaskan paham Ahlusunnah Waljamaah”.
Nahdlatul Ulama mendasarkan faham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: Al Qur’an, As Sunnah, Al Ijma’ dan Al Qiyas. Dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya, Nahdlatul Ulama menggunakan cara sebagai berikut:
- Pada bidang Akidah pendekatan yang digunakan adalah Ahlussunnah wal jama’ah, yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan al Asy’ari dan Imam Manshur al Maturidzi
- Pada bidang Fiqh pendekatan yang digunakan adalah Mengikuti jalan pendekatan (al madzhab) dengan 4 imam madzhab: Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali.
- Pada bidang Tasawuf pendekatan yang digunakan adalah Mengikuti antara lain Imam al Junaid al Baghdadi dan Imam al Ghazali serta imam-imam lainnya.
Sebagaimana disebutkan dalam dasar faham keagamaan NU bahwa
Nahdlatul Ulama mendasarkan faham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: Al
Qur’an, As Sunnah, Al Ijma’ dan Al Qiyas. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. dalam surat an-Nisa’ ayat 59
sebagai berikut:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا
اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ
بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An Nisa’: 59)
Nahdlatul Ulama berkeyakinan bahwa Islam adalah agama yang bersifat menyempurnakan semua kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama
bersifat menyempurnakan nilainilai
kebaikan yang sudah ada.
Al Qur’an merupakan sumber utama ajaran Agama islam. Al Qur’an memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Merupakan firman Allah (kalamullah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
- Diturunkan menggunakan Bahasa Arab dengan membawa ajaran yang benar.
- Menjadi bukti (mukjizat) Nabi Muhammad SAW atas kerasulannya.
- Menjadi pedoman bagi orang-orang yang meyakininya.
- Dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk penghambaan diri kepada Allah SWT (ibadah) bagi yang membacanya.
- Kitab yang tersusun, dimulai dari Surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat An Nas.
- Disampaikan secara mutawatir (disampaikan oleh orang banyak, sehingga tidak mungkin lagi diragukan kebenarannya).
- Selalu dijaga oleh Allah SWT dari segala bentuk perubahan
Yang dimaksud As Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw baik berupa perbuatan, ucapan, maupun pengakuan Nabi SAW. Karena itu, sunnah terbagi menjadi tiga;
- Sunnah Qauliyah adalah Semua ucapan Nabi SAW yang menerangkan tentang suatu hukum. Contonya adalah : Perintah Nabi SAW untuk berpuasa Ramadhan apabila telah melihat bulan (ru’yah).
- Sunnah Fi’liyah adalah Segala sesuatu yang diperbuat Nabi SAW. Contohnya : Tata cara shalat yang Nabi Muhammad SAW kerjakan.
- Sunnah Taqririyah adalah Pengakuan/persetujuan/ diamnya Nabi Muhammad SAW atas apa yang diperbuat oleh para sahabatnya. Contohnya : Persetujuan/diamnya Nabi SAW ketika melihat sahabatnya berdzikir dengan menggunakan kerikil untuk menghitungnya
Yang dimaksud dengan Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid di suatu zaman tentang satu permasalahan hukum yang terjadi ketika itu. Ijma’ terbagi menjadi 2 (dua):
- Ijma’ Sharih adalah kesepakatan yang terjadi pada saat semua mujtahid mengemukakan pendapatnya, dan ternyata pendapat mereka itu semuanya sama.
- Ijma’ Sukuti adalah kesepakatan yang terjadi karena ada sebagian mujtahid yang mengemukakan pendapatnya sedangkan yang lain diam (tidak memberikan komentar), sehingga mereka dianggap setuju dengan pendapat yang dikemukakan mujtahid tersebut.
Contoh Ijma’ adalah kesepakatan para sahabat tentang adzan dua kali pada hari jum’at, shalat
tarawih secara berjama’ah dan lain sebagainya.
4. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan hukum cabang (furu’) kepada hukum asal (ashl) karena ada kesamaan illat (sebab) hukumnya. Contoh Qiyas adalah perintah untuk meninggalkan segala jenis pekerjaan pada saat adzan jum’at dikumandangkan. Hal ini disamakan dengan perintah untuk meninggalkan jual beli pada saat-saat tersebut, yang secara langsung telah dinyatakan dalam Al Qur’an. Wallahu A'lam ..(MWC NU Widasari)
0 Komentar