ISTIGHOTSAH MBAH HASYIM ASY’ARI
Bagi warga Nahdliyyin, istighotsah adalah amalan yang sudah membudaya.
Kadang dibaca tiap selapan sekali (35 hari), seminggu sekali, bahkan ada yang
mengamalkan sehari sekali. Tergantung seberapa berat masalah hidup yang
dihadapi.
Bacaan dan bilangan istighotashpun berbeda-beda. Wirid istighotsah
seperti halnya ukuran obat. Beda dokter, tentu beda pula ukuran dosis yang
diberikan.
Dari sekian banyak amalan istighotsah yang sudah diamalkan. Ada satu
wirid istighotsah istimewa. Wirid istighotsah ini disusun oleh Hadratussyaikh
KH. M. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan pendiri Pondok Pesantren
Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Salah satu kiyai yang mendapat ijazah
istighotsah dari KH M Hasyim Asy’ari adalah Kiai Luqman, asal Tremas.
Dikutip dari laman NuBorneo berikut sedikit
kisahnya: Pada Selasa, 23 Syawal 1435 Hijriyah, saya diminta menemani Kiai
Luqman pergi ke luar kota. Hari itu beliau memiliki tiga agenda berbeda. Pagi
ke Ponorogo, sowan salah seorang kiai sepuh, kemudian siangnya ke Magetan
ta'ziyah wafatnya Pengasuh Pesantren Temboro KH Uzairon dan malam harinya
mengisi pengajian peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) RI di sebuah desa di
Wonogiri.
Kami pergi ditemani oleh isteri Kiai Luqman. Kiai Luqman yang menyetir
sendiri mobilnya. Beliau memang kerap membawa sendiri mobilnya tanpa
menggunakan sopir pribadi. Dan seperti biasa saya yang disopiri.
Sampai di Ponorogo kami mampir dulu di rumah Gus Munir, salah satu
keluarga Pondok Jenes. Kemudian bersama-sama sowan kepada Kiai Fahruddin,
Pengasuh Pesantren Thoriqul Huda, Cekok, Kecamatan Babadan, Ponorogo.
Sowan Kiai Luqman ini tentunya dalam rangka “ngalap barokah”, meminta
doa-pangestu agar senantiasa istiqamah membimbing santri di Pondok Tremas. Kiai
Luqman memang gemar sekali bersilaturahmi, utamanya kepada kiai sepuh. Apalagi
saat itu masih dalam suasana hari raya Idul Fitri.
Pada malam hari sebelum sowan, Kiai Luqman sempat berkomunikasi intens
dengan salah satu cucu Hadratussyaikh, Gus Zaki Hadziq (Pengasuh Pondok
Pesantren Al-Masyhuriyah). Keduanya, saling berbagi kabar penting tentang
sebuah wirid istighotsah langka yang pernah disusun oleh Hadratusy Syaikh KH M
Hasyim Asy’ari, dan pernah diijazahkan kepada salah seorang putranya.
Entah karena suatu hal. Di Tebuireng sendiri, ternyata teks istighotsah
itu sudah “tidak ada” lagi yang menyimpanya. Maka dicarilah informasi, siapakah
gerangan santri Tebuireng yang masih menyimpan dan mengamalkanya.
Singkat cerita, didapati kabar ada seorang kiai sepuh di Ponorogo yang
masih mengamalkannya. Santri Tebuireng itu adalah Kiai Fahruddin Dasuki. Maka
Kiai Luqman segera sowan ke sana.
Di Ndalemnya yang sejuk itu, Kiai Luqman berbincang cukup lama dengan
Kiai Fahruddin yang saat itu ditemani beberapa putranya. Perbincangan
berlangsung cukup hangat. Hampir dua jam.
Saya yang duduk agak jauh dari Kiai Luqman diberi tugas
mendokumentasikan pertemuan antara dua kiai beda generasi itu. Waktu itu saya
membawa semacam kamera Flip, kamera kecil khusus untuk merekam video.
Mula-mula Kiai Fahruddin bercerita tentang masa-masa nyantri di
Tebuireng, ngaji kepada Kiai Kholiq Hasyim. Kemudian topik beralih seputar
pesantren, NU dan Bangsa. Kiai sepuh ini memang dikenal getol menjaga nilai
kebangsaan dan kenegaraan.
Yang dapat saya ingat, Kiai Fahruddin juga sempat bercerita tentang
peristiwa pernikahan KH Harits Dimyathi, ayah Kiai Luqman, dengan salah satu
putri Hadratusyaikh yang bernama Nyai Fathimah. Saat itu Kiai Fahruddin yang
masih menjadi santri anyaran turut menyaksikan prosesi ijab qobul antara putra
KH Dimyati Tremas itu dengan salah satu putri Hadratussyaikh KH. M. Hasyim
Asy’ari. Walaupun pada akhirnya ikatan pernikahan itu tidak berlangsung lama.
Di tengah perbincangan, dengan rasa hormatnya Kiai Luqman lalu
memberanikan diri “matur”, menanyakan tentang sebuah wirid istighosah yang
pernah disusun oleh Hadratussyaikh KH. M Hasyim Asy’ari. Seperti diketahui,
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari selain dikenal sebagai kiai yang mampu
menulis berpuluh-puluh kitab, beliau juga menyusun wirid-wirid tertentu untuk
diamalkan para santrinya saat itu.
Dengan tutur kata lembut dan penuh kerendahan hati, Kiai Fahruddin
menjawab pernah mendapat ijazah wirid istighosah langka itu dari gurunya, KH
Kholiq Hasyim. Kiai Kholiq merupakan tokoh Tebuireng generasi ke-5 yang cukup
disegani oleh masyarakat, karena memiliki ilmu kanuragan yang cukup tinggi.
Istighotsah itu, kata Kiai Fahruddin masih diamalkannya. Mendengar
jawaban itu, wajah Kiai Luqman tampak bahagia. Sebab salah satu wirid istighosah,
saya menyebutnya seperti “Harta Karun” langka telah berhasil ditemukan.
Kiai Fahruddin kemudian mengambil secarik kertas, yang didalamnya berisi
wirid istighosah. Menurut Kiai Fahruddin, ijazah istighosah ini diperolehnya
langsung dari KH Kholiq Hasyim. Kiai Kholiq mendapat ijazah langsung dari
Ayahnya, Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari.
Saya menyaksikan proses pemberian ijazah istighotsah langka itu kepada
Kiai Luqman. Sebelumnya, Kiai Fahruddin tampak “berkata dengan lirih (pelan)”,
dengan suara yang hanya mampu didengar Kiai Luqman. Sepertinya beliau
menyampaikan suatu pesan yang amat penting.
Setelah itu mulailah proses ijab-qobul itu. Kiai Fahruddin mengawali
“ijazahan” dengan bacaan basmallah dan shalawat. Lalu beliau juga memberikan
tela'ah dan tashih (pembenaran) pada tiap bacaan istighatsah itu. Satu persatu
bacaan istighatsah yang diawali dengan Asmaul Husna, istighfar, semua itu
beliau bacakan sesuai dengan urutan dan jumlah bacaannya.
Kiai Luqman lalu mantap menjawab “Qobiltu” sebagai akad telah menerima
wirid itu. Jadilah transmisi sanad wirid dari Tebuireng ini nyambung ke Tremas.
Kiai Fahruddin mengakhiri ijazahan dengan membaca doa dan kamipun ikut
mengamininya. Teks istighotsah kemudian disimpan dan dibawa pulang ke Tremas.
Selang beberapa bulan setelah memberikan ijazah ini, Kiai Fahruddin
wafat. Namun wirid istighotsah itu sempat diijazahkan pula kepada salah satu
dzurriyah Tebuireng, Gus Zaki Hadziq.
Jadi sebelum wafat, Kiai Fahruddin telah “mengembalikan” wirid
istighotsah itu ke tempat asal pertama kali wirid itu disusun, yaitu dari
Pondok Pesantren Tebuireng.
Kiai Luqman merupakan sosok kiai yang gemar berbagi. Utamanya dalam hal
keilmuan. Beliau sangat dermawan, senang berbagi kepada siapa saja dan dimana
saja. Lebih-lebih wirid istighotsah yang telah diperolehnya. Seperti pesan dari
Kiai Fahruddin, istighotsah itu agar diamalkan oleh para santri dan umumnya
warga nahdliyin.
Untuk wirid istighotsah Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari ini, sekarang
sudah mulai diamalkan bersama-sama oleh santri Tremas dan dibaca setiap malam
Selasa Kliwon. Kiai Luqman sendiri yang memimpin langsung amalan istighotsah
ini.
Adapun teks istighosah milik (yang disusun oleh) Hadlratusy Syaikh KH
Muhammad Hasyim Asyrai adalah sebagai berikut:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
۱– أَسْمَاءُ الْحُسْنَى × ١
۲– أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ
لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ × ٣
۳– لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ × ١١
۴– يَا
اللهُ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ × ١١
۵– بِسْمِ اللهِ بِعَوْنِ اللهِ، اللهُ
يَا حَفِيْظُ × ١١
۶– إِلَهَنَا يَا سَيِّدَنَا أَنْتَ مَوْلَنَا
فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ/ الظَّالِمِيْنَ/ الْمُنَافِقِيْنَ × ١١
۷– يَا حَنَّانُ، يَا مَنَّانُ، يَا دَيَّانُ × ٩
۸– السَّلَامُ عَلَيْكُمْ يَا رِجَالَ الْغَيْبِ، يَا أَيُّهَا الْأَرْوَاحُ
الْمُقَدَّسَةُ، أَغِيْثُوْنِيْ بِالْغَوْثَةِ، وَانْظُرْنِيْ بِالنَّظَرَةِ، يَا
رُقَبَاءُ، يَا نُقَبَاءُ، يَا نُجَبَاءُ،
يَا أَبْدَلُ يَا أَوْتَادُ، يَا غَوْثُ، يَا قُطُبُ، أَغِيْثُوْنِيْ
باِلْغَوْثَةِ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ × ٣
۹– يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ،
يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، يَا أَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ، بَلِّغْ عَلَى
الْمُسْلِمِيْنَ × ٣
Diharapkan agar warga Nahdliyyin dapat menghidupkan dan mengamalkan
istighotsah Mbah Hasyim 'Asy'ari. Wa Allahu 'Alam.